MAKALAH
PENGANTAR AGAMA ISLAM
“ISLAM DAN EKONOMI”
|
Disusun Oleh
Kelompok 8
- Akbar I
-Ilham Z
-Ilham
-Restu
-Lucky L.H
|
|
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS GARUT
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya sehingga makalah ini bisa terselesaikan
sebagaimana mestinya.
Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya bagi kami
umumnya bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
|
|
Garut, 12
Desember 2016
Penulis
|
DAFTAR ISI
COVER.......................................................................................................................................
KATA PENGANTAR...............................................................................................................
DAFTAR
ISI.............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................................................
BAB III
KESIMPULAN...........................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Islam
adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam
dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik
manusia, melainkan hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan
sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan
kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggungjawabkan.
Ekonomi
Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana
dirangkum dalam rukun iman dan rukun
Islam. Bekerja merupakansuatukewajibankarena Allah SWTmemerintahkannya,
sebagaimanafirman-Nyadalamsurat At Taubahayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalahkamu,
karena Allah danRasul-Nyaserta orang-orang yang berimanakanmelihat
pekerjaanitu”.
Karena kerja membawa pada keampunan,
sebagaimana sabadaRasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya
kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.ThabranidanBaihaqi)
Jual beli ialah persetujuan saling
mengikat antara penjual (yakni pihak yang menawarkan /menjual barang) dan
pembeli (sebagaipihak yang membayar/ membelibarang yang dijual).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Ekonomi Dalam Islam?
2. Jual Beli Dalam Islam?
3. Syirkah
4. Bank
5. Prinsip Dan Konsep Dalam Islam
6. Koperasi
1.3 TUJUAN PENULISAN
A.
Dapat Mengetahui Pengertian Ekonomi
Dalam Islam
B.
Dapat Mengetahui Jual Beli Dalam
Islam
C.
Dapat Mengetahui Syirkah
D.
Dapat Mengetahui Bank
E.
Dapat Mengetahui Prinsip Dan Konsep
Dalam Islam
F.
Dapat Mengetahui Koperasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ekonomi Dalam Islam
Pengertian Ekonomi Menurut Islam
Ekonomi
adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan usaha-usaha yang bertujuan untuk
memenuhi segala keperluan hidup manusia. Dalam pengertian masa kini, ekonomi
ialah satu pengkajian berkenaan dengan kelakuan manusia dalam menggunakan
sumber-sumber untuk memenuhi keperluan mereka.
Ekonomi adalah segala kegiatan yang
berkaitan dengan usaha-usaha yang bertujuan untuk memenuhi segala keperluan
hidup manusia. Dalam pengertian masa kini, ekonomi ialah satu pengkajian
berkenaan dengan kelakuan manusia dalam menggunakan sumber-sumber untuk
memenuhi keperluan mereka.
Dalam pengertian Islam pula, ekonomi
ialah satu sains sosial yang mengkaji masalah-masalah ekonomi manusia yang
didasarkan kepada asas-asas dan nilai-nilai Islam. Ekonomi Islam adalah
sebahagian daripada asas kepada masyarakat dan negara Islam. Kedua-duanya tidak
boleh dipisahkan dan pada kedua-dua asas inilah terhubung jalin sistem sosial
Islam.
2.2
JUAL BELI DALAM ISLAM
1.
Pengertian
Jual Beli
Jual
beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu
dengan sesuatu
(yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’,
al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1.
Menurut ulama Hanafiyah : Jual beli adalah ”pertukaran harta (benda) dengan
hartaberdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”
2.
Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan.”
3.
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual
beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (
yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang)
danpembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).Pada
masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang
terbuat dari perak(dirham).
2.
Landasan
atau Dasar Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini
disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1.
Al Qur’an
Yang
mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu”
(QS. An-Nisa : 29).
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).
2.
Sunnah
Nabi,
yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang
paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang
bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim
yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam
hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan
orang lain.
3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu
kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi
tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan
makruh.
3.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan
dalam jual beli yang
harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).
Rukun
Jual Beli:
1) Dua pihak membuat akad penjual dan
pembeli
2) Objek akad (barang dan harga)
3) Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
a) Orang yang melaksanakan akad jual
beli ( penjual dan pembeli )
Syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :
a. Berakal, jual belinya orang gila
atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
b. Baligh, jual belinya anak kecil yang
belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz
(mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap
barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
c. Berhak menggunakan hartanya. Orang
yang tidak berhak menggunakan harta milik
orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah (
Q.S. An-Nisa’(4): 5)
b)
Sigat atau Ucapan
Ijab
dan Kabul.
Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus
diwujudkan melalui ucapan ijab (dari
pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
Adapun
syarat-syarat ijab kabul adalah
:
1. Orang yang mengucap ijab kabul telah
akil baliqh.
2. Kabul harus
sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul
dilakukan dalam suatu majlis.
c) Barang Yang Diperjual
Belikan
Barang
yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara
lain :
1. Barang yang
diperjual-belikan itu halal.
2. Barang itu ada
manfaatnya.
3. Barang itu ada
ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
4.
Barang itu
merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5.
Barang itu
hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas, baik zatnya, bentuknya
dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
d)
Nilai tukar
barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun
syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :
1.
Harga jual disepakati penjual dan
pembeli harus jelas jumlahnya.
2.
Nilai tukar barang itu dapat
diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya
pembayaran menggunakan kartu kredit.
3.
Apabila jual
beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi
berupa uang).
4.
Hal-hal
Yang Terlarang Dalam Jual Beli
Jual
beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi
sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1. Jual beli yang sah dan tidak
terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2. Jual beli yang terlarang dan tidak
sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya tidak
terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan
(disesuaikan dengan ajaran islam).
3. Jual beli yang sah tapi terlarang ( fasid
). Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi
dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.
4. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad). Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan
sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang
dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
1. Jual beli yang dilakukan oleh orang
gila.
2. Jual beli yang dilakukan oleh anak
kecil. Terlarang dikarenakan anak kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui
perihal tentang jual beli.
3. Jual beli yang
dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini terlarang karena ia tidak dapat
membedakan barang yang
jelek dan barang yang baik.
4. Jual beli terpaksa
5. Jual beli fudhul adalah jual
beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
6. Jual beli yang terhalang. Terhalang
disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.
7. Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.
8. Terlarang Sebab Shigat. Jual
beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang
termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
Jual beli Mu’athah. Jual beli yang telah
disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi
tidak memakai ijab kabul.
Jual beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakan kabul yang
melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai
ketangan orang yang dimaksudkan.
Jual
beli dengan syarat atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan
tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad. Terlarang karena tidak memenuhi
syarat in’iqad (terjadinya akad). Jual beli tidak bersesuaian antara
ijab dan kabul.
Jual
beli munjiz adalah yang dikaitkan dengan suatu
syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
9. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang
jualan) Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh
orang yang akad, yang biasa disebut mabi ’(barang jualan)
dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama,
tetapi diperselisihkan, antara lain :
Jual beli benda
yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.
Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual beli burung yang ada
di udara, dan ikan yang ada didalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
Jual beli gharar adalah jual
beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)..
Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis. Contohnya : Jual beli bangkai, babi,
dll.
Jual
beli air
jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang dikarenakan akan mendatangkan pertentangan di antara
manusia.
Jual beli yang
tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat. Jual beli sesuatu sebelum
dipegangi. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan apabila belum
terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang,
akadnya fasid.
10. Terlarang Sebab Syara’. Jenis jual beli yang dipermasalahkan
sebab syara’ nya diantaranya adalah :
jual
beli riba
Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan. Contohnya jual beli khamar, anjing,
bangkai.
Jual beli
barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya
menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegat barang itu mendapatkan
keuntungan.
Jual beli waktu adzan jum’at.Terlarang dikarena bagi laki-laki
yang melakukan transaksi jual belidapat
mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai muslim dalam mengerjakan
shalat jum’at.
Jual beli anggur untuk dijadikan khamar
.
Jual beli
barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan ternakyang masih
dikandung oleh induknya.
5.
Barang
Yang Dilarang Diperjual Belikan Dalam Islam
Islam
melarang bentuk jual beli yan mengandung tindak bahaya bagi yang lain semacam
jika BBM naik, sebagian pedagang menimbun barang sehingga membuat warga sulit mencari
minyak dan hanya bisa diperoleh dengan harga yang relatif mahal. Begitu pula
segala bentuk penipuan dan pengelabuan dalam jual beli menjadikannya terlarang.
Saat ini kita akan melihat bahasan sebagai tindak lanjut dari tulisan
sebelumnya mengenai bentuk jual beli yang terlarang.
Sebagai
agama yang lengkap telah memberikan petunjuk lengkap tentang perdagangan,
termasuk didalamnya barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Sebagai
pengusaha muslimsudah sepantasnya kita mempelajari masalah ini agar terhindar
dari perniagaan yang haram dan tidak di ridhoi allah.
Islam
adalah agama yang syamil, yang mencangkup segala permasalahan manusia,
tak terkecuali dengan jual beli. Jual beli telah disyariatkan dalam Islam dan
hukumnya mubah atau boleh, berdasarkan Al Quran, sunnah, ijma’ dan dalil
aqli. Allah SWT membolehkan jual-beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhannya
selama hidup di dunia ini.
Namun
dalam melakukan jual-beli, tentunya ada ketentuan-ketentuan ataupun
syarat-syarat yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Seperti jual beli
yang dilarang yang akan kita bahas ini, karena telah menyelahi aturan dan
ketentuan dalam jual beli, dan tentunya merugikan salah satu pihak, maka jual
beli tersebut dilarang. Diantara jual beli yang dilarang dalam islam tersebut
antara lain:
1.
Jual
beli yang diharamkan
Tentunya
ini sudah jelas sekali, menjual barang yang diharamkan dalam Islam. Jika Allah
sudah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya.
Seperti menjual sesuatu yang terlarang dalam agama. Rasulullah telah melarang
menjual bangkai, khamr, babi, patung dan lain sebagainya yang bertentangan
dengan syariah Islam.
Begitu
juga jual beli yang melanggar syar’I yaitu dengan cara menipu. Menipu barang
yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, tetapi sang penjual
menjualnya dengan memanipulasi seakan-akan barang tersebut sangat berharga dan
berkualitas. Ini adalah haram dan dilarang dalam agama, bagaimanapun bentuknya.
2.
Barang
yang tidak ia miliki.
Misalnya,
seorang pembeli datang kepadamu untuk mencari barang tertentu.Tapi barang yang
dia cari tidak ada padamu. Kemudian ksmu/ente dan pembeli saling sepakat untuk
melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekian, sementara itu barang
belum menjadi hak milik ente (kamu) atau si penjual. Kemudian ent pergi membeli
barang dimaksud dan menyerahkan kepada si pembeli.
Jual
beli seperti ini hukumnya haram, karena si pedagang menjual sesuatu yang
barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang cara berjual beli
seperti ini. Istilah kerennya reseller.
Dalam
suatu riwayat, ada seorang sahabat bernama Hakim bin Hazam Radhiyallahu 'anhu
berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm : “Wahai, Rasulullah.
Seseorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang
yang dicari tidak ada padaku. Kemudian aku pergi ke pasar dan membelikan barang
itu”. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“ Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu. [HR
Tirmidzi]. “
3. Jual beli Hashat.
Yang
termasuk jual-beli Hashat ini adalah jika seseorang membeli dengan menggunakan
undian atau dengan adu ketangkasan, agar mendapatkan barang yang dibeli sesuai
dengan undian yang didapat. Sebagai contoh: Seseorang berkata: “ Lemparkanlah
bola ini, dan barang yang terkena lemparan bola ini kamu beli dengan harga
sekian”. Jual beli yang sering kita temui dipasar-pasar ini tidak sah. Karena
mengandung ketidakjelasan dan penipuan.
4. Jual beli Mulamasah.
Mulamasah
artinya adalah sentuhan. Maksudnya jika seseorang berkata: “Pakaian yang sudah kamu sentuh, berarti
sudah menjadi milikmu dengan harga sekian”. Atau “Barang yang kamu buka,
berarti telah menjadi milikmu dengan harga sekian”.
Jual
beli yang demikian juga dilarang dan tidak sah, karena tidak ada kejelasan
tentang sifat yang harus diketahui dari calon pembeli. Dan didalamnya terdapat
unsur pemaksaan.
5. Jual Beli Najasy
Bentuk
praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang telah ditugaskan menawar
barang mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih
tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan
memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya,
namun tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya
tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan.
Dan
Rasullulah S.A.W. telah melarang perbuatan najasy ini seperti yang terdapat di
dalam hadist :
"Janganlah
kamu melakukan praktek najasy, janganlah seseorang menjual di atas penjualan
saudaranya, janganlah ia meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah
seorang wanita meminta (suaminya) agar menceraikan madunya supaya apa yang ada
dalam bejana (madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim
[1413]).
Tentunya
masih banyak sekali contoh-contoh atau model jual beli yang dilarang dalam
agama, seperti jual-beli yang menghalangi orang untuk melakukan sholat,
khususnya diwaktu jumat setelah adzan kedua sholat jumat, juga menjual barang
sebelum diterima, kemudian makelar atau calo yang menjual barang dengan harga
yang lebih tinggi dari harga sekarang. Itu semua merupakan jual-beli yang
dilarang dalam Islam.
Semoga
kita semua senantiasa terjaga dalam bermuamalah dengan sesama, selalu waspada
dan berhati-hati dalam bertindak khususnya dalam berdagang. Mari kita mensuri
tauladani Nabi kita Muhammad SAW dalam berdagang, beliau selalu dipercayai
dalam setiap ucapan, dan perbuatannya
Barang
yang tidak boleh diperjualbelikan:
1.
Khamer (Minuman Keras)
2.
Bangkai, Babi dan Patung
3.
Anjing
4.
Gambar yang Bernyawa
5.
Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
6. Biji-Bijian
yang Belum Mengeras
2.3 SYIRKAH
A.
Pengertian
Syirkah
Secara
etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الإختلاط أى خلط أحد المالين بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran,
yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat
dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah
adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan
kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan
menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama[3]
1.
Menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad
(perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2.
Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من
الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما
Perkongsian
adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua
orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan
kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun
masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3.
Menurut Syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا
على جهة الشيوع
Syirkah
menurut
syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua
orang atau lebih secara bersama-sama
4.
Menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama
dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari
definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah
bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang
atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang
melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai
kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi
syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang
melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan
seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja
dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk
pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk
pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa
keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[4]
B.
Hukum
Syirkah
Syirkah
hukumnya
diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits
dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini
kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1.
Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ
عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا
هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah Ta’ala: “Dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad:
24)
Dan firman-Nya pula:
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي
الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua
ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya
perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12
perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad
ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص.م
.قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه
خرجت من بينهما
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla
berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat,
Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan
Al-Hakim no.2322).
3.
Ijma’
Ijma’
ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah
secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya.
Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha
diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu
Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
C.
Rukun
dan Syarat Syirkah
Rukun
syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung.
Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun
syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran
perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan
kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab
dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek
akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat
bagian, sebagai berikut.
1.
Sesuatu yang bertalian dengan semua
bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal
ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang
diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan
keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua
pihak.
2.
Semua yang bertalian dengan syirkah
mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3.
Sesuatu yang bertalian dengan
syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta pokok) harus sama,
b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk
kafalah
c) orang yang dijadikan objek akad,
disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau
perdagangan.
4.
Adapun syarat yang bertalian dengan
syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
5.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat
yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan
pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah
hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya
batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid.
Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang
telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah
dinyatakan shahih.[10]
D.
Macam-Macam
Syirkah
1.
Syirkah
Amlâk (Hak Milik)
Yaitu
perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini
kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh
menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang
memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.
Syirkah milk juga dibagi menjadi
menjadi dua yaitu:
a.
Syirkah
milk jabr,
ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara
paksa
b.
Syirkah
milk al-ikhtiyar,
ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka
masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi
setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat
atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua
aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Misalnya: Si A dan si B diberi
wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya,
atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan,
maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2.
Syirkah
Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu
akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan,
artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan
kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam
tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang
berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa
masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika
yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama
fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima
macam syarikah, yaitu:[14]
a.
syirkah
al-‘inân
Yaitu
penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama
jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah
al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau
lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal
modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.
Keuntungan dibagi dua sesuai
presentase yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini
diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A
dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan
memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa
uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu
dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang
berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril
Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur
Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal,
sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).”
b.
syirkah
al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk
kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi
modal (mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi,
kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama
dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan
sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan
menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i
melarangnya.[16]
Contohnya: A dan B. keduanya adalah
nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula,
jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil
as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia
berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi
Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu
Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.
syirkah
al-mudârabah
Yaitu,
persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah
modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu perdagangan tertentu
yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya
ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah,
malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi
mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut
mereka merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak
dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:
1.
modal harus dinyatakan dengan jelas
mengenai jumlahnya
2.
modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha
3.
modal harus dalam bentuk tunai bukan
utang
4.
pembagian keuntungan harus
dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.
kesepakatan ratio persentase harus
dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.
pembagian
keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan seluruh atau sebagian
modal kepada shahib a-mâl
d.
syirkah
al-wujûh
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik
serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang
secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di
antara mereka.
e.
syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama.
E.
Hal
–Hal Yang Membatalkan Syirka
1.
Sebab-Sebab
Yang Membatalkan Syirkah Secara Umum
a.
pembatalan
oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah
merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.
meninggalnya salah seorang anggota
serikat.
c.
murtadnya salah seorang anggota
serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan
dengan kematian.
d.
gilanya peserta yang terus-menerus,
karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah
mengandung unsur wakâlah.
2.
Sebab
yang membatalkan syirkah secara khusus
a.
Rusaknya
harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.
Tidak terwujudnya persamaan modal
dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai. Hal
tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan
syarat yang penting untuk keabsahan akad.
2.4 BANK
A.
Pengertian
Bank Syariah
Bank syariah adalah suatu bank yang
dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran
dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama
perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang)
adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan
melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional
yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga.
Bank konvensional memang tidak serta merta identik dengan riba, namun
kebanyakan praktik bank konvnsionaldapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.
B.
Konsep Dasar Transaksi
- Efisiensi, mengacu pada prinsip saling menolong untuk
berikhtiar, dengan tujuan mencapai laba sebesar mungkin dan biaya yang
dikeluarkan selayaknya.
- Keadilan, mengacu pada hubungan yang tidak menzalimi
(menganiaya) , saling ikhlas mengikhlaskan antar pihak – pihak yang
terlibat dengan persetujuan yang adil tentang proporsi bagi hasil, baik
untung maupun rugi.
- Kebenaran, mengacu pada prinsip saling menawarkan
bantuan dan nasehat untuk saling meningkatkan produktivitas.
d.
Lima transaksi yang lazim
dipraktekkan perbankan syariah adalah:
- Tarnsaksi yang tidak mengandung ribal.
- Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan
cara jual beli(murabaha)
- Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jaa dengan
cara sewa(ijarah)
- Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja
dengan cara bagi hasil (mudharabah)
- Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya
adlah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan(wadi’ah).
C.
Produk
Perbankan Syariah
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Produk penyaluran dana
Produk penghimpunan dana
Produk yang berkaitan dengan jasa
yang diberikan kepada nasabahnya.
1. Produk penyaluran dana
a.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Transaksi
jual beli dibedakanberdasar4kan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan
barang, seperti:
Pembiayaan Murabahah
Murabahah
adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank bertindak
sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga
beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga
jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli
dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam
perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi
tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad,
sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
Salam
Salam
adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank
akan menjualnya kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran.
Umumnya transaksi ini diterapkan dalam penbiayaan barang yang belum ada,
seperti pembelian komoditi dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Istishna
Produk
istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam
bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi.
Ketentuan umum Istishna sebagai berikut :
Spesifikasi
barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah.
Harga jual yang disepakati dicantumkan dalam akad Istishna dan tidak
boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
b.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada
akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah.
Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahiya nittamlik
(sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga
jual disepakati pada awal perjanjian.
c.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
1)
Musyarakah
Musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara
bersama – sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun
tidak berwujud. Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa
dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship),
keahlian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau
intangible asset( seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi
(credit worthiness) dan barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang.
Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak
dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
2)
Mudharabah
Mudharabah
adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian
pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100%
modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum
mudharabah adalah;
a.
Jumlah modal y6ang diserahkan kepada
nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai;
b.
Hasil dari pengelolaan modal
pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: perhitungan dari
pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek
(profit loss sharing).
c.
Hasil usaha dibagi sesuai dengan
persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
d.
Bank berhak melakukan pengawasan
terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha
nasabah.
d.
Akad
Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta
pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya
pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
1.
Hiwalah ( Alih Utang Piutang)
Hiwalah
adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah,
fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai
agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang.
2.
Rahn (Gadai)
Tujuan
akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut :
a.
Milik nasabah sendiri,
b.
Jelas ukuran, sifat, dan nilainya
ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
c.
Dapat dikuasai namun tidak boleh
dimanfaatkan oleh bank.
d.
Atas izin bank, nasabah dapat
menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan
merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau
cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
3.
Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi
qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
Sebagai pinjaman talangan haji,
diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat
penyetoran biaya perjalanan haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash
advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan
untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya
sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha
kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila
diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus
bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya
kebutuhan pengu7rus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur
melalui potongan gajinya.
4.
Wakalah (Perwakilan )
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C
(Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
5.
Bank dan nasabah yang dicantumkan
dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C,
apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat
dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyarakah.
6.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi
bank dapat diberikan dengan tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk
fasilitas ini sebagai rahnb. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan
prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di Bank Syariah
dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang
diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan
mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah
Ketentuan umum dari produk ini
adalah :
a)
Keuntungan atau kerugian dari
penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana
tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan
memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana
masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
b)
Bank harus membuat akad pembukaan
rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek,
bilyet giro, dan debit card.
c)
Terhadap pembukaan rekening ini bank
dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekadar menutupi biaya yang
benar – benar terjadi.
d)
Ketentuan – ketentuan lain yang
berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
b. Prinsip Mudharabah
Mudharabah Mutlaqah
Penerapan
mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua
jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah.
Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana
yang dihimpun.
Mudharabah Muqayyadah on Balance
sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi
bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan digunakan
deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Mudharabah Muqayyadah off Balance
sheet
Jenis
mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana
usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari
kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.
c. Akad Pelengkap
Wakalah (perwakilan)
Dalam
aplikasi perbankan, wakalah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada
bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso
dan transfer uang.
3. Jasa Perbankan
a.
Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya, jual beli valuta
asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tudak
sejenis ini penyerahannya harus dilaksanakan pada waktu yang sama (spot). Bank
mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b.
Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain
penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana
administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
E. Keunggulan Bank Syariah
a.
Dengan adanya negosiasi antara pihak
nasabah dengan pihak bank, tercapai suatu halyang saling menguntungkan.
b.
Dengan prinsip bagi hasil, jika
perusahaan ingin menaikkan usahanya namun kekurangan modal, maka dapat
mengajukan kredit dengan baik, sehingga dapat menerima modal dan juga resiko yang
ada lebih rendah daripada dengan pinjaman kredit biasanya.
c.
Dapat mendorong para pengusaha kecil
untuk mengembangkan usahanya dengan baik, dengan adanya bantuan dari pihak
bank.
d.
Resiko kerugian lebih kecil dengan
menggunakan prinsip ini. Karena apabila mengalami kerugian, maka dibagi menurut
perjanjian yang dibuat.
e.
Pihak bank akan mendapatkan banyak
nasabah dengan menggunakan prinsip ini, karena adanya kemudahan – kemudahan
(misalnya tanpa agunan) yang diberikan oleh bank dan juga akan menaikkan
keuntungan yang besarnya sesuai dengan perjanjian yang dilakukan.
2.5 PRINSIP DAN KONSEP BANK ISLAM
KONSEP
DASAR BANK INDONESIA
A.
Prinsip-prinsip
Bank Islam
Visi
perbankan Islam umumnya adalah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang
ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai
prinsip syariah. Memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak dan memberikan
maslahat bagi masyarakat luas adalah misi utama perbankan islam.
Dengan
landasan falsafah dasar sistem ekonomi islam dan dengan visi misi tersebut
diatas, maka setiap kelembagaan keuangan syariah akan menerapkan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
1.
Menjauhkan
Diri dari Kemungkinan Adanya Unsur Riba
a. Menghindari penggunaan system yang
menetapkan dimuka suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau
bunga pinjaman yang dilakukan pada bank konvensional.
b. Menghindari penggunaan sistem
presentasi biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung
unsur melipatgandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena
berjalannya waktu.
c. Menghindari penggunaan sistem
perdagangan/penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (
barang yang sama dan sejenis, seperti uang rupiah yang masih berlaku ) dengan
memperoleh, kelebihan baik kuantitas maupun kualitas.
d. Menghindari penggunaan sistem yang
menetapkan dimuka tambahan atas uang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai
utang secara sukarela, seperti penetapan bunga pada bank konvensional.
2.
Menerapkan
Prinsip Sistem Bagi Hasil dan Jual-Beli
Dengan
mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an, QS. Al-Baqarah (2): 275 dan surat an-Nisaa
(4): 29 yang intinya Allah SWT telah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalan perniagaan
dengan suka sama suka, maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus
selalu dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau
yangtransaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan
barang/jasa. Akibatnya pada kegiatan muamalah berlaku prinsip “ ada barang/jasa
dulu baru ada uang “, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong
kelancaran arus barang/jasa, dapat menghindari adanya penyalahgunaan kredit,
spekulasi dan inflasi.
Dalam
operasinya, pada sisi pengerahan dana masyarakat lembaga ekonomi Islam
menyediakan sarana investasi bagi penyimpanan dana dengan sistem bagi hasil dan
pada sisi penyaluran dana masyarakat menyedisksn fasilitas pembiayaan investasi
dengan sistem bagi hasil serta pembiayaan perdagangan.
a.
Investasi bagi penyimpan dana
berarti nasabah yang menyimpanan dananya pada
bank ini (tabungan mudharabah atausimpanan mudharabah) dianggap sebagai penyedia dana
( rabbul mal) akan memperoleh hak bagi hasil dari usaha bank sebagai
pengelola dana ( mudharib ) yang sifat hasilnya tidak tetap dan tidak
pasti sesuai dengan besar kecilnya hasil usaha bank. Bagi hasil yang diterima
penyimpanan dana biasanya dihitung sesuai dengan lamanya dana tersebut
mengendap dan dikelola oleh bank, bias satu tahun, bias satu bulan, bias satu
minggu, bahkan bias satu hari.
b.
Pembiayaan investasi ialah
pembiayaan baik sepenuhnya ( al-mudharabah ) atau sebagian ( al-musyarakah ) terhadap
suatu usaha yang tidak berbentuk saham. Dana yang ditempatkan , sepenuhnya
maupun yang sebagian itu tetap menjadi milik bank sehingga pada waktu
berakhirnya kontrak, bank berhak memperoleh bagi hasil dari usaha itu sesuai
dengan kesepakatan.
c.
Pembiayaan Mudharabah.
B.
Bunga
Bank Dan Riba
Untuk
mendudukkan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan pemahaman
yang mendalam, baik tentang seluk-beluk bunga maupun dari akibat yang
ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistem bunga dalam perekonomian dan
dengan membaca tandaar-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam
Al-Qur’an dan Hadits.
1. Tentang Bunga Bank
a.
Definisi bunga :
1)
The American Heritage Dictionary of the English Language
Interst
is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned.
2)
Kamus Ekonomi ( inggris-Indonesia ), Prof. Dr. Winardi, SE. :
Interest
( net )
– bunga modal ( netto ). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana.
Diterangkan dengan macam-macam cara, misalnya :
a)
Balas jasa untuk pengorbanan konsumsi atas pendapatan yang dicapai pada waktu
sekarang ( contoh : teori abstinence ),
b)
Pendapatan-pendapatan orang yang berbeda mengenai preferensi likuiditas yang
menyesuaikan harga,
c)
Harga yang mengatasi terhadap masa sekarang atas masa yang akan datang ( teori
preferensi waktu )
d)
Pengukuran produktivitas macam-macam investasi ( efisiensi marginal modal ),
e)
Harga yang menyesuaikan permintaan dan penawaran akan dana-dana yang
dipinjamkan ( teori dana yang dipinjamkan).
3)
Dictionary of Economics, Sloan dan Zurcher :
Interest
yaitu sejumlah uang yang dibayar atau untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut, misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau
presentasi modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku modal.
b.
Beberapa pendapat umum yang menganggap bunga bank tidak sama dengan riba :
1)
Dalam keadaan-keadaan darurat, bunga halal hukumnya.
2)
Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, adapun suku bunga yang
“wajar” dan tidak menzalimi diperkenankan.
3)
Keuangan bank, demikian juga Lembaga Keuangan Bukan Bank sebagai “lembaga
hokum” tidak termasuk dalam territorial hokum taklif.
4)
Hanya kredit yang bersifat konsumtif saja yang pengambilan bunganya dilarang,
adapun yang produktif tidak demikian ( the productivity theory of interest )
5)
Bunga yang diberikan sebagai ganti rugi ( opportunity cost ) atas
hilangnya “kesempatan” untuk memperoleh keuntungan dari pengelolaan dana
tersebut ( the classical theory of interest ).
6)
Uang dapat dianggap sebagai komuditi sebagaimana barang-barang lainnya,
sehingga dapat disewakan atau diambil upah atas penggunaannya ( the monetary
of interest ).
7)
Uang diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya
nilai uang atau daya beli uang itu.
8)
Jumlah uang pada masa kini mempunyai nilai yang lebih tinggi dari jumlah yang
sama pada suatu masa nanti, oleh karena itu bunga diberikan untuk mengimbangi
“penurunan” nilai atau daya beli uang ini ( time preference of money theory ).
9)
Bunga diberikan sebagai imbalan atas pengorbanan/pematangan penggunaan pendapat
yang diperoleh ( the abstinence theory of
interest ).
2.
Tentang Riba
a.
Definisi Riba
Menurut
ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif
Hidayatullah.
Ar-Riba
atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian
tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan
cara yang tidak dibenarkan syara, apakah tambahan itu berjumlah sedilit maupun
berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Riba
sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “usury” yang artinya
dalam The American Heritage Dictionary of the English Language, adalah :
1)
The act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest,
2)
Such of an excessive rate of interest,
3)
Archaic ( tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama ). The act or
practice of lending money at any rate of interest,
4)
Aw. Obsolete ( using, tidak dipakai, kuno ). Interest charged or paid
on such a loan.
3
KOPERASI
Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan
untuk menyejahterakan anggotanya.
Berdasarkan pengertian tersebut, yang dapat menjadi anggota koperasi yaitu:
a)
Perorangan, yaitu orang yang secara
sukarela menjadi anggota koperasi;
b)
Badan hukum koperasi, yaitu suatu
koperasi yang menjadi anggota koperasi yang memiliki lingkup lebih luas.
Pada Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 27 (Revisi 1998),
disebutkan bahwa karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha
lain, yaitu anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda
maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh anggotanya, di mana
setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil
koperasi. Pembagian keuntungan koperasi (biasa disebut Sisa Hasil Usaha atau
SHU) biasanya dihitung berdasarkan andil anggota tersebut dalam koperasi,
misalnya dengan melakukan pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau
penjualan yang dilakukan oleh si anggota.
Bung Hatta dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan
social capital ke dalam 7 nilai sebagai spirit koperasi. Pertama, kebenaran
untuk menggerakkan kepercayaan (trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama.
Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab
dalam individualitas dan solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan
tegas. Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan
dan otoaktiva. Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan.
Pemerintah dan swasta, meliputi individu maupun masyarakat, wajib mentransformasikan
nilai-nilai syari’ah dalam nilai-nilai koperasi, dengan mengadopsi 7 nilai
syariah dalam bisnis yaitu :
1)
Shiddiq yang mencerminkan kejujuran,
akurasi dan akuntabilitas
2)
Istiqamah yang mencerminkan
konsistensi, komitmen dan loyalitas
3)
Tabligh yang mencerminkan transparansi,
kontrol, edukatif, dan komunikatif
4)
Amanah yang mencerminkan
kepercayaan, integritas, reputasi, dan kredibelitas
5)
Fathanah yang mencerminkan etos
profesional, kompeten, kreatif, inovatif
6)
Ri’ayah yang mencerminkan semangat
solidaritas, empati, kepedulian, awareness
7)
Mas’uliyah yang mencerminkan
responsibilitas.
BAB III
KESIMPULAN
Perekonomian
sebagai salah satu sendi kehidupan yang penting bagi manusia, oleh al-Qur`an
telah diatur sedemikian rupa. Riba secara tegas telah dilarang karena merupakan
salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Hal terpenting dari semua itu
adalah bahwa kita harus dapat mengembalikan fungsi asli uang yaitu sebagai alat
tukar/jual beli bukan sebagai komoditi dengan cara memungut bunga
sebesar-besarnya karena hal seperti ini adalah dosa besar, dan orang-orang yang
tetap mengambil riba setelah tiba larangan Allah diancam akan dimasukkan
kedalam neraka (Qs. Al-Baqarah:275). Demikianlah kesimpulan dari makalah ini,
semoga bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
l-Baqilany,
Muhammad Abu Bakar, I’jaz Al-Quran.Kairo: Daar al-Ma’arif, t.t..
Amal, Taufik
Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum kajian
dan Budaya, 2001.
Banna, Haddam, Al-Balaghah
Fi Ilmi Al-Ma’ani. Ponorogo :
Darussalam,1991.
Esposito,
John.L, Dunia Islam Modern I, terj.
Eva dkk . Bandung : Mizan, 2002.
Ghufron, M. Al-Balaghah Fi Ilmi Al-Bayan. Ponorogo : Darussalam,1991.
_________, Al-Balagahah Fi Ilm Badi’. Ponorogo :
Darussalam,1991.
Hasyimi, Ahmad, Jawahir Al-Adab. Beirut
: Daar Kutub, 1996.
Jabbar ,
Abu Bakar, Aysarut Tafasir, jil.
I. Beirut : Daar Kutub Al-Ilmiyah,
1995.
Khalil,
Munawwar. Al-Qur’an Dari Masa ke Masa. Solo:Ramadhani, 1985.
Makdisi,
Goerge. The Rise Of Humanism In Classical Islam And The Chiristian West . Edinburgh
: Edinburgh University Press, 1990.
Munawwir,
Ahmad Warson. Al-munawwir. Yogyakarta : Pustaka Progressif, 1984.
Ma’luf, Louis. al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lam. Beirut : Daar Masyriq, 1982.
Salam,
Muhammad Zaglul dan Muhammad Khalfullah Ahmad, Salasu Rasail Fi I’jaz
Al-Quran: Li al- Rumani Wa al-Khuthabi Wa Abdul Qadir al-Jurjani. Mesir:
Dar al-Ma’arif, t.t.
Shihab,
Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992.
______________,
Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiyah dan
Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan, 1997.
Sholih,
Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta
: pustaka Firdausi, 2000.
Suyuthi,
Jalaluddin, Al-Itqan Fi Ulum
Al-Quran, Jil. IV. Kairo: Maktabah Dar Al-Turast, t.t.h.
Qatthan,
Manna, Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Mesir: Mansyuroti asril Hadist, tth.