Pengertian Maulid
Maulid secara bahasa berarti tempat atau waktu
dilahirkannya seseorang [Boleh juga dikatakan maulid adalah mashdar (asal kata)
bermakna kelahiran (al-wiladah). Ini disebut mashdar mim. [ed]]. Oleh karena
itu, tempat maulid Nabi Shallallahu’alaihi wasallam adalah Makkah. Sedangkan
waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal pada tahun Gajah
tahun 53 SH (Sebelum Hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M.
Adapun tanggal kelahiran beliau, maka para
ulama berselisih dalam penentuannya. Dan cukuplah hal ini menjadi tanda dan
bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, para sahabat beliau, dan para ulama setelah mereka, tidaklah menaruh
perhatian besar dalam masalah hari maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam. Karena seandainya hari maulid beliau adalah perkara
yang penting, memiliki keutamaan yang besar, dan memiliki arti yang mendalam
dalam Islam, maka pasti akan ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam dalam hadits-hadits beliau, sebagai konsekuensi dari
kesempurnaan Islam dan semangat beliau dalam menunjukkan kebaikan kepada
ummatnya. Juga pasti akan dinukil dari para sahabat tentang tanggal kelahiran
beliau sebagai konsekuensi sikap amanah mereka dalam menyampaikan ilmu.
Jadi, perbedaan pendapat para ulama tentang
kapan tanggal maulid beliau menunjukkan bahwa tidak ada keterangan yang jelas
dari Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula dari para
sahabat beliau Radhiallahu‘anhum tentang masalah ini.
Perselisihan Pendapat Tentang Maulid (Hari
Lahir) Nabi
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini, tapi
yang paling masyhurnya adalah:
1. Maulid Nabi adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh
Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab sebagaimana yang akan datang, dan juga
yang zhahirnya dikuatkan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah dalam
kitab beliau Shahih As-Sirah An-Nabawiah hal. 13. Beliau berkata dalam ta’liq
(catatan kaki), “Adapun waktu hari kelahiran beliau, telah disebutkan
tentangnya dan tentang bulannya oleh beberapa pendapat. Hal ini disebutkan oleh
Ibnu Katsir dalam kitab asal [Yakni kitab Sirah Rasulullahi Shallallahu‘alaihi
wasallam wa Dzikru Ayamihi wa Ghozawatihi wa Saroyahu wal Wufud Ilaihi karya
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullahu], dan semuanya mu’allaq, tanpa ada sanad
yang bisa diperiksa dan diukur dengan ukuran ilmu mustholah hadits, kecuali
pendapat yang mengatakan bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi -pent.) pada
tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Karena (tanggal 8 ini telah diriwayatkan oleh Malik
dan selainnya dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dan
beliau adalah seorang tabi’in yang mulia. Dan mungkin karena inilah, pendapat
ini dikuatkan oleh para pakar sejarah dan mereka berpegang padanya, dan
(pendapat) ini yang dipastikan oleh Al-Hafizh Al-Kabir Muhammad bin Musa
Al-Khowarizmy dan juga dikuatkan oleh Abul Khoththob bin Dihyah …”.
2. Maulid Nabi tanggal 9 Rabi‘ul Awwal.
Pengarang Nurul ‘Ainain fii Sirah Sayyidil Mursalin
berkata, hal. 6, “Almarhum Mahmud Basya seorang pakar ilmu Falak menguatkan
bahwa hal itu (hari kelahiran Nabi) adalah pada Subuh hari Senin, tanggal 9
Rabi’ul Awwal yang bertepatan dengan tanggal 20 April tahun 571 Miladiyah dan
juga bertepatan dengan tahun pertama dari peristiwa Gajah”.
Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury
Hafizhahullah berkata dalam kitab beliau Ar-Rohiqul Makhtum [Kitab beliau ini
meraih peringkat pertama dalam perlombaan mengarang Sirah Nabawiah yang
diadakan oleh Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy pada tahun 1399 H], hal. 54,
“Pimpinan para Rasul dilahirkan di lingkungan Bani Hasyim di Mekah pada subuh
hari Senin tanggal 9 bulan Rabi’ul Awwal tahun pertama dari peristiwa perang
Gajah dan bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April tahun 571 M”.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syaikh
Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin
Rahimahumallah.
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia
adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil sebagaimana
yang akan datang penjelasannya], “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam
kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits [Ucapan
ini jangan dipahami bahwa ahlul hadits menguatkan bolehnya maulid, tapi
maknanya bahwa ahlul hadits menguatkan bahwa hari kelahiran beliau pada tanggal
9.[ed]] bahwa beliau Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada
malam itu (kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut
kebanyakan ulama” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadha`ihil Ikhwan
hal. 49].
Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin Rahimahullahu
berkata setelah menyebutkan konsekuensi kecintaan kepada Nabi
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, “Maka ketika itu, jika bulan ini
(Rabi’ul Awwal) adalah bulan diutusnya Rasul Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, demikian juga dia adalah bulan dilahirkannya Rasul Shallallahu‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam berdasarkan pendapat yang dinyatakan oleh para pakar
sejarah. Hanya saja, tidak diketahui malam keberapa beliau dilahirkan. Pendapat
yang paling bagus adalah yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada malam ke
9 dari bulan ini (Rabi’ul Awwal) bukan malam ke 12. Berbeda halnya dengan
pendapat yang terkenal di sisi kebanyakan kaum muslimin saat ini. Karena ini
(yakni lahirnya beliau pada tanggal 12) tidaklah memiliki landasan yang benar
dari sisi sejarah. Berdasarkan perhitungan para ahli falak belakangan,
kelahiran beliau adalah pada hari ke 9 dari bulan ini …”. [Lihat Majmu
Al-Fatawa (7/357) karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimin, kumpulan Fahd
bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany]
3. Maulid Nabi adalah tanggal 12 Rabi‘ul
Awwal.
Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata sebagaimana
dalam Sirah Nabawiyyah (1/58) karya Ibnu Hisyam Rahimahullahu, “Rasulullah
Shallallahu‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul
Awwal, tahun Gajah”.
Akan tetapi pendapat ini dilemahkan oleh
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullahu. Dalam kitab
beliau Mukhtashar Siratur Rasul, hal. 18, beliau menyatakan, “Beliau ‘Alaihis
sholatu wassalam dilahirkan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal. Qila (dikatakan)
[Istilah qila (dikatakan) dengan bentuk kalimat pasif di kalangan para ulama
biasa digunakan untuk melemahkan suatu pendapat, dan ini adalah perkara yang
masyhur dan jelas bagi siapa saja yang menelaah kitab-kitab para ulama],
“tanggal 10”, dan qila (dikatakan) : “tanggal 12”, pada hari Senin”.
Kami katakan: Berkaca pada semua perkataan dan
pernyataan di atas, kita bisa lihat bahwa pendapat yang menyatakan bahwa Nabi
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada tanggal 12 Rabi’ul
Awwal sama sekali tidak memiliki landasan hujjah (argumen) yang kuat. Dan
pendapat yang paling mendekati kebenaran -insya Allah- adalah yang menyatakan
bahwa Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada tanggal 8
Rabi’ul Awwal karena adanya riwayat dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im
Rahimahullahu, kemudian setelahnya adalah pendapat yang dikuatkan oleh para
ahli hadits yang menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 9 Rabi’ul
Awwal, wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
Yang Pertama Kali Merayakannya
Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz At-Tuwaijiry
Hafizhahullah berkata, “Yang pertama kali memunculkan bid’ah ini adalah Bani
‘Ubaid Al-Qaddah yang menamakan diri dengan Al-Fathimiyyun dan menyandarkan
nasab mereka kepada keturunan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu‘anhu. Padahal
sebenarnya, mereka adalah pendiri dakwah bathiniyah. Nenek moyang mereka Ibnu
Daishan yang dikenal dengan nama Al-Qaddah, seorang budak milik Ja’far bin
Muhammad Ash-Shadiq dan salah seorang pendiri mazhab bathiniah di Irak.
Kemudian dia pergi ke negeri Maghrib (Maroko) mengaku sebagai keturunan ‘Uqail
bin Abi Thalib. Tatkala kaum ekstrim Syi’ah-Rafidhah bergabung ke mazhabnya,
diapun mengaku sebagai anak Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq dan
mereka menerima hal tersebut. Padahal Muhammad bin Isma’il meninggal dalam
keadaan tidak memiliki keturunan. Di antara yang mengikutinya adalah Hamdan
Qirmith, yang (firqah) Al-Qaramithah disandarkan kepadanya.
Waktu terus berjalan hingga muncul dari
kalangan mereka seseorang yang bernama Sa’id bin Al-Husain bin Ahmad bin
Abdillah bin Maimun bin Daishan Al-Qaddah, yang kemudian mengubah nama dan
nasabnya. Dia berkata kepada pengikutnya, “Saya adalah ‘Ubaidullah [Para
pengikutnya kemudian dikenal dengan nama Al-‘Ubaidiyyun (pengikut Ubaidullah)]
bin Al-Hasan bin Muhammad bin Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq” sehingga meluaslah
fitnah (malapetaka)nya di Maghrib” [Al-Bida’ Al-Hauliyyah hal. 137-139].
Berikut perkataan beberapa ulama dalam
mengingkari penisbahan mereka kepada ahlil bait (keturunan Rasulullah):
Ibnu Khallikan Rahimahullahu berkata
sebagaimana dalam Al-Bida’ Al-Hauliyyah, hal. 139, “Pakar ilmu nasab dari
kalangan muhaqqiqin mengingkari pengakuan dia (Ubaidullah) kepada nasab (ahlil
bait) tersebut”.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata,
“Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun yang bernisbah kepada
Ubaidillah bin Maimun Al-Qaddah, seorang Yahudi yang memerintah di Mesir dari
tahun 357–567 H, mereka memunculkan banyak hari-hari raya. Di antaranya
perayaan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam” [Al-Bidayah
11/127].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu
berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (35/120), “Telah diketahui bahwa jumhur
(kebanyakan) manusia mengingkari penisbahan mereka serta mereka (jumhur)
menyebutkan bahwa mereka (Al-Ubaidiyyun) merupakan anak keturunan Majusi atau
yahudi. Perkara ini masyhur berdasarkan persaksian para ulama dari berbagai
kelompok ; Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’iyyah, Al-Hanabilah, Ahlil
Hadits, Ahlil kalam, pakar nasab, orang awwam dan selain mereka”.
Pada tempat lain (25/120-132) beliau menyebutkan beberapa ulama yang lain seperti:
Pada tempat lain (25/120-132) beliau menyebutkan beberapa ulama yang lain seperti:
Ibnul Atsir Al-Maushily dalam Tarikhnya,
beliau menyebutkan sesuatu yang ditulis oleh para ulama kaum muslimin dalam
tulisan-tulisan mereka langsung dalam mengkritik penisbahan mereka.
Ibnul Jauzy.
Abu Syamah dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.
Al-Qadhy Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillany dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul Kasyful Asrar wa Hatkul Astar. Dia menyebutkan bahwa mereka adalah dari keturunan Majusi.
Al-Qadhy Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain Al-Farra`, seorang ulama’ Al-Hanabilah dalam kitab beliau Al-Mu’tamad.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly dalam kitab beliau yang berjudul Fadha`ilul Mustazhharah wa Fadha`ihul Bathiniyyah.
Al-Qadhy Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamadzany dan yang semisal dengannya dari kalangan ahli kalam Mu’tazilah.
Ibnul Jauzy.
Abu Syamah dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits.
Al-Qadhy Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thayyib Al-Baqillany dalam kitab beliau yang masyhur yang berjudul Kasyful Asrar wa Hatkul Astar. Dia menyebutkan bahwa mereka adalah dari keturunan Majusi.
Al-Qadhy Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain Al-Farra`, seorang ulama’ Al-Hanabilah dalam kitab beliau Al-Mu’tamad.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazaly dalam kitab beliau yang berjudul Fadha`ilul Mustazhharah wa Fadha`ihul Bathiniyyah.
Al-Qadhy Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamadzany dan yang semisal dengannya dari kalangan ahli kalam Mu’tazilah.
Kemudian, bid’ah perayaan hari lahir (ulang
tahun) secara umum serta perayaan hari lahir Nabi (maulid) secara khusus,
tidaklah muncul kecuali pada zaman Al-Ubaidiyyun pada tahun 362 H. Tidak ada
seorangpun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini.
Taqiyyuddin Al-Maqrizy Rahimahullahu berkata
dalam Al-Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khuthath wal Atsar (1/490) di bawah
judul ‘Penyebutan Hari-Hari yang Dijadikan Sebagai Hari Raya oleh Khilafah
Al-Fathimiyyun…’, “Khilafah Al-Fathimiyyun sepanjang tahun memiliki beberapa
hari raya dan hari peringatan, yaitu : Perayaan akhir tahun, perayaan awal
tahun (tahun baru), hari ‘Asyura`, perayaan maulid (hari lahir) Nabi
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maulid Ali, maulid Al-Hasan, maulid
Al-Husain, maulid Fathimah -Radhiyallahu ‘anhum-, perayaan maulid (ulang tahun)
khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan bulan Rajab, malam
pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban, …”.
Juga telah berlalu keterangan dari Ibnu Katsir
Rahimahullahu dalam masalah ini ketika beliau mengingkari penisbahan mereka
(Al-Ubaidiyyun) kepada ahlil bait.
Maka hal ini merupakan persaksian yang sangat
jelas dan gamblang dari beliau berdua -padahal Al-Maqrizy adalah termasuk para
ulama yang menetapkan dan membela penisbahan mereka kepada keturunan Ali bin
Abi Thalib- bahwa Al-Ubaidiyyun adalah sebab turunnya musibah ini (perayaan
bid’ah maulid) atas kaum muslimin serta merekalah yang membuka pintu-pintu
perayaan bid’ah dengan berbagai macam bentuknya.
Pendapat ini (bahwa yang memulai perayaan
maulid adalah Al-Bathiniyyah) telah dikuatkan oleh sejumlah ulama belakangan.
Berikut nama-nama beserta perkataan mereka:
Mufti Negeri Mesir, Syaikh Muhammad bin
Bukhaith Al-Muthi’iy Rahimahullahu berkata, “Termasuk perkara-perkara yang baru
muncul dan banyak pertanyaaan tentangnya adalah masalah perayaan-perayaan
maulid (ulang tahun). Maka kami katakan bahwa sesungguhnya yang pertama kali
memunculkannya di Qahirah (baca: Kairo) adalah khilafah Al-Fathimiyyun dan yang
pertama kali dari kalangan mereka adalah orang yang bernama Al-Mu’izz
Lidinillah …” [Ahsanul Kalam fii ma Tata’allaqu bis Sunnah wal Bid’ah minal
Ahkam hal. 44].
Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqy Rahimahullahu
berkata dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Syaikhul Islam
Al-Iqtidho`, hal.294, “… bahkan tidak ada yang memunculkan hari-hari raya
kesyirikan ini kecuali Al-‘Ubaidiyyun yang ummat telah bersepakat akan
kemunafikan mereka dan bahwa mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani dan
bahwa mereka adalah musibah atas kaum muslimin. Kaum muslimin menyimpang dari
jalan yang lurus lewat tangan-tangan, dan susupan-susupan mereka serta sesuatu
yang mereka masukkan ke dalam ummat ini berupa racun-racun Shufiyah (tashowwuf)
yang busuk”.
Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullahu, Syaikh
Ahmad An-Najmy, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan -hafizhahumallah- juga menetapkan
hal yang sama sebagaimana akan datang perkataan mereka pada bab ketiga belas
ketika menyebutkan perkataan para ulama tentang bid’ahnya perayaan maulid.
Syaikh ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid
Al-Maqthiry Al-Yamany berkata, “Yang pertama kali memunculkannya -yaitu
perayaan maulid- di Kairo adalah Al-Mu’izz Lidinillah Al-Fathimy pada tahun 362
H dan terus berlangsung sampai dihapuskan oleh Al-Afdhal, Panglima pasukan
perang Badrul Jamaly pada tahun 488 H pada zaman pemerintahan Al-Musta’ly
Billah. Tatkala khilafah Al-Amir bi Ahkamillah bin Al-Musta’ly berkuasa pada
tahun 495 H, perayaan maulidpun kembali dirayakan” [Al-Maurid fii Hukmil
Ihtifal bil Maulid hal 8-9].
Nampak dari nukilan-nukilan tadi bahwa yang
pertama kali mengerjakan amalan bid’ah ini (perayaan maulid) adalah
Al-Ubaidiyyun alias Al-Fathimiyyun yang bermazhab bathiniyah. Mereka ini ingin
mengubah agama kaum muslimin, memasukkan ke dalam agama Islam sesuatu yang
bukan darinya, dan menjauhkan kaum muslimin dari agamanya yang sebenarnya.
Karena menyibukkan manusia dengan melakukan berbagai amalan bid’ah adalah cara
termudah untuk mematikan sunnah Nabi -Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam- yang suci dan menjauhkan manusia dari syari’at Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang penuh dengan kemudahan.
Adapun yang dinukil dari sekelompok ulama
seperti Ibnu Katsir, Ibnu Khallikan, dan As-Suyuthy dan diikuti oleh beberapa
ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh dan Syaikh
Hamud At-Tuwaijiry bahwa yang pertama kali merayakan maulid Nabi adalah raja
Irbil Muzhaffaruddin Abu Sa’id Al-Kaukabury bin Abil Hasan Ali bin Bakatkin di
akhir abad keenam atau awal abad ketujuh Hijriah, maka pernyataan mereka ini
dibawa (baca: diarahkan maknanya) kepada perkataan Abu Syamah Abdurrahman bin
Isma‘il Al-Maqdisy dalam kitabnya Al-Ba’its ‘ala Ingkaril Bida’ wal Hawadits
hal. 31 ketika beliau berkata, “Sesungguhnya yang pertama kali merayakannya di
Maushil adalah Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mulla, salah seorang dari kalangan
orang shalih yang terkenal [Amalan orang yang dianggap shalih ini menunjukkan
kebodohan dia terhadap sunnah Nabinya -Shallallahu'alaihi wasallam-.
Demikianlah keadaan kebanyakan bid’ah, syaithan masukkannya ke dalam Islam
dengan perantaraan orang-orang yang dianggap shalih, akan tetapi bodoh dan
berpaling dari mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, Wallahul Musta’an],
yang kemudian diikuti (dalam merayakannya) oleh raja Irbil”.
Maka kita lihat, apa yang beliau sebutkan
tentang orang yang pertama kali merayakannya hanya terbatas di negeri Maushil.
Ini tidaklah menunjukkan bahwa yang pertama kali merayakannya secara mutlak
adalah raja Irbil, karena telah berlalu bahwa yang pertama kali merayakannya
adalah Al-Fathimiyyun dari kalangan Al-Bathiniyyah. Sehingga dengan demikian,
pernyataan yang dinukil dari Ibnu Katsir dan yang mengikuti beliau ini tidaklah
bertentangan dengan pembahasan yang telah kami terangkan di atas.
Termasuk perkara yang menguatkan bahwa
Al-Ubaidiyyun Al-Fathimiyyun Al-Bathiniyyun telah mendahului raja Irbil dalam
merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam adalah bahwa Al-Mu’izz
Lidinillah yang bernama Ma’ad bin Abdillah Al-Fathimy datang ke Qahirah pada
bulan Ramadhan tahun 362 H. Sedang tahun itu merupakan awal pemerintahan mereka
(Al-Fathimiyyun) di Mesir. Khalifah yang terakhir dari mereka adalah Al-‘Adhid
Abdullah bin Yusuf, meninggal pada tahun 567 H. Adapun Muzhaffaruddin -Raja
Irbil-, maka dia dilahirkan pada tahun 549 H dan meninggal tahun 630 H. Jadi,
ini merupakan bukti nyata bahwa raja Irbil telah didahului oleh Al-Ubaidiyyun
dalam merayakan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam sekitar 2 abad
sebelumnya, wallahu A’lam.
Untuk lebih memperjelas masalah, berikut kami
sebutkan beberapa pemikiran bathiniyah beserta nukilkan beberapa komentar ulama
tentang kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin, yang mana pada
gilirannya hal ini akan mengungkap hakekat dari perayaan maulid Nabi Shallallahu‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam yang mereka munculkan:
Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib
adalah sembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka melakukan tahrif ma’nawy (penyelewengan
makna) terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala (memalingkan makna ayat
dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk akal, yang
mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan sejelek-jelek tahrif.
Contohnya mereka menafsirkan ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي
لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -Radhiyallahu ‘anhuma-.
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -Radhiyallahu ‘anhuma-.
Mereka berkeyakinan bahwa semua syari’at dan
aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin. Yang zhahir -menurut mereka-
adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan
yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri
dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka. Contohnya shalat
lima waktu; zhahirnya adalah dengan mengerjakan sholat, sedangkan batinnya -dan
hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui rahasia-rahasia mazhab mereka.
Jadi, siapa yang telah mengetahui rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah
dianggap melaksanakan shalat walaupun tidak melakukan gerakan-gerakan shalat.
Puasa batinnya adalah menyembunyikankan rahasia-rahasia kelompok mereka.
Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah menziarahi kuburan guru-guru
mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka apakah masih
ada ajaran agama yang tersisa dengan keyakinan mereka ini ?!.
Ibnu Katsir Rahimahullahu menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang shalih, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Thalib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
Ibnu Katsir Rahimahullahu menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang shalih, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khamr, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Thalib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. Al-Isra`: 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)” [Majmu’ Al-Fatawa (22/120)].
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86)” [Majmu’ Al-Fatawa (22/120)].
Dari seluruh keterangan-keterangan di atas,
telah nampak jelas bagi setiap orang yang menginginkan kebenaran bahwa perayaan
hari maulid (ulang tahun) secara umum dan maulid Nabi Muhammad
Shallallahu‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam secara khusus bukanlah termasuk
bagian dari ajaran Islam sama sekali. Hal ini kita bisa tinjau dari tiga sisi:
Perayaan maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabi’ul
Awwal sama sekali tidak memiliki landasan sejarah yang kuat sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid dan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahumallahu Ta’ala- [Telah berlalu
pernyataan kedua ulama ini ketika membawakan pendapat-pendapat dan khilaf para
ulama seputar tanggal kelahiran Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam]. Jadi,
bagaimana bisa dikatakan perayaan ini memiliki landasan/asal dari syari’at
Islam ?!
Perayaan Maulid Nabi Shallallahu‘alaihi
wasallam ini tidaklah muncul kecuali setelah berakhirnya zaman-zaman keutamaan
(zaman para sahabat, tabi’in, dan yang mengikuti mereka). Maulid tidaklah
pernah dikerjakan oleh para sahabat, tidak pula para tabi’in, serta tidak juga
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sebagaimana yang akan kami
pertegas pada bab ketiga belas dalam buku ini.
Jika ada situs yang terbaik kenapa pilih yang lain? mari bergabung bersama kami di www intanqq poker ^^
ReplyDelete7 game dalam 1 ID
Game yang di sediakan oleh intanqq:
* Sakong (New Game)
* Bandar Poker (New Game)
* BandarQ (Hot Game)
* Poker
* Domino
* Capsa Online
* AduQ
Kelebihan:
* Minimal Depo dan WD Rp 15.000
* Proses dana cepat
* Bonus cashback harian 0,3%
* Bonus extra cashback
* Bonus referal 10% + 10%
* No robot
Kami tunggu kehadirannya ^^