Dari Politik Etis untuk Para Petani Pribumi
administrator
1 2 3 4 5
( 11 Votes )
User Rating: / 11
PoorBest
POLITIK ETIS di masa kolonialisme Belanda menempatkan
pribumi tetap sebagai objek jajahan daripada partisipasi aktif. Menurut Boeke,
ada dualisme ekonomi kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Sistem kebun,
misalnya, dibudidayakan sebagai kebun permanen dengan tujuan meningkatkan
ekspor hasil perkebunan yang tujuan akhirnya meningkatkan penghasilan Hindia
Belanda. Terlepas dari itu, bisa kita lihat bahwa pada masa pemerintahan Hindia
Belanda telah ada upaya mengangkat kesejahteraan petani-sesuatu yang mahal di
republik yang telah setengah abad merdeka ini.
Dewasa ini, kondisi pertanian Indonesia, khususnya pertanian
tanaman pangan hingga dekade ini belum mendapat perhatian optimal dari
pemerintah.
Harga pupuk semakin mahal, politisasi pertanian, masuknya
berbagai produk pertanian impor, semakin mempersulit petani untuk bersaing di
pasar.
Padahal saat ini pertanian merupakan salah satu industri
yang mungkin dikembangkan di Indonesia dalam persaingan global. Melihat kondisi
alam dan iklim yang mendukung, serta banyaknya petani usaha kecil yang bisa
dilibatkan, sektor ini akan mampu meningkatkan taraf hidup sebagian besar masyarakat.
Pada saat menguasai Indonesia pada abad ke-20, Pemerintah
Belanda telah memfokuskan kebijakan politik dalam bidang pertanian dengan
harapan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Kebijakan ini berawal dari kegagaalan sistem liberal selama
dekade sebelumnya (1870). Sistem Liberal ditandai dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Agraria 1870 yang menjadi alat pemodal asing untuk menyewa tanah
seluas dan selama mungkin. Sistem ini membawa kemunduran bagi kesejahteraan
pribumi. (Mubyarto: 1992, 36-37)
Munculah gagasan etis di kancah pertanian Pemerintah Belanda
yang direalisasikan dengan didirikannya Afdeeling Landbouw di Departemen
Landbouw, Nijverheid dan Handel pada tahun 1905. Kebijakan baru ini merupakan
titik awal pembangunan masyarakat desa yang secara umum adalah petani.
Dibentuknya Departemen Pertanian tidak bisa lepas dari
program Gubenur Jenderal Rooseboom yang terus menghawatirkan tentang penurunan
produk-produk pertanian berserta implikasinya terhadap kesejahteraan penduduk.
Departemen Pertanian dipusatkan di kebun botani di Buitezorg
(Bogor). Departeman itu dikepalai oleh seorang direktur bernama M. Treub yang
diberi kesempatan untuk merealisasikan rencana jangka pajangnya dalam upaya
meningkatkan hasil pertanian tanaman padi di sawah, peningkatan tanaman
sekunder, serta penanaman untuk lahan kering.
Treub juga menanamkan perlunya dorongan dan perkenalan
industri-industri kecil pertanian. Untuk itu dilakukanlah penelitian terhadap
kondisi klimatologi dan tanah di Jawa serta pemeliharaan ternak.
Usaha Treub diimbangi dengan melakukan percobaan pertanian
pada lahan-lahan di Jawa sebagai eksperimen, seperti di Afdeling Kulon progo
yang terletak di bagian barat Kesultanan Yogyakarta.
Laporan Ir. A. Wulff pada tahun 1920-1926, misalnya memperlihatkan
bahwa di daerah Pengasih dan Sogan (Distrik Kulon Progo) dilakukan riset
penanaman padi dengan menggunakan pupuk kimiawi pada lahan sawah basah. (A.
Wullf, Mededeelinge van het Algemeen Proefstation voor den Landbouw No. 25.
Arsip Dinas Pertanian Yogyakarta).
Penelitian Wulff melaporkan bahwa hasil dari percobaan
ternyata kurang maksimal. Pada tahun 1929 J.J Ochse juga melakukan penelitian
iklim dan percobaan penanaman tanaman panen berupa buah-buahan, seperti mangga
dan nanas di Kulon progo. (J.J. Ochse, Mededdelingen voor de Dienst: …Arsip
Pakualam Yogyakarta).
Politik Etis sedikit banyak telah mewarnai dinamika
pertanian Indonesia. Seperti dilaporkan Ge Prince, pandangan umum yang mengakar
pada waktu itu adalah kesejahteraan pribumi sangat berkaitan dengan produksi
tanaman pangan. Hal ini menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda melihat sektor
pertanian sebagai sektor yang penting diperdayakan dalam kebijakan Etis. (Ge
Prince dalam J. Thomas Lindblad (ed): 1998, 159).
Menurut Gerry van Klinken, masyarakat Jawa telah mempunyai
pegetahuan yang memadai dalam bidang pertanian bahkan sebelum kolonialisme
datang ke Nusantara. Berdasarkan ini, barangkali politik Etis tidak banyak
mengubah cara-cara pertanian yang ada. Pola pertanian, misalnya pada tahun
1900-1930 di Kulon Progo masih memakai cara tradisional.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa pengenalan cara-cara
pertanian modern telah dilakukan, meski tidak massif. Sebagai sosialisasi,
misalnya lahan percontohan pemerintah menggunakan pemupukan kimiawi. Selain
itu, pola pengairan menggunakan sungai, seperti Opak Progo juga telah memakai
sistem manajemen yang rapi. Pengairan tersebut bahkan telah diundangkan dalam
Rijksblad van Djogjakarta No. 10 tahun 1922, No. 20 tahun 1927, No. 23 dan 28 tahun
1928. Salah satu butir yang di dalamnya adalah kebijakan membentuk dewan yang
mengurusi masalah distribusi air antara petani dan perkebunan.
Dari pelbagai kebijakan itu, kita bisa melihat adanya
peningkatan hasil pertanian. Namun, tidak bisa disimpulkan bahwa peningkatan
hasil pertanian tersebut membawa peningkatan kesejahteraan bagi petani. Pada
kenyataannya, pemerintah Hidia Belanda menerapkan pajak yang tidak ringan. Di
dalam Rijksblad van Djogjakarta dan Rijksblad van Paku Alam disebutkan bahwa
besarnya pajak sawah berkisar antara 8-20% dari hasil panen. Di Distrik
Pengasih dan Nanggulan (Afdeling Kulon Progo) pada tahun 1927 beban sawah dan
lahan kering mencapai f88.024. Kapan nasib petani bisa berubah?
“Balas
budi”(?) Belanda kepada Bumi Putera dengan Politik Etis
Semenjak
pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem Tanam Paksa di Indonesia,
banyak menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi seperti kemiskinan,
kelaparan bahkan kematian. Selain itu banyak juga penduduk yang meninggalkan
tanah kelahirannya hanya sekedar untuk menghindari diri dari sistem Tanam Paksa
yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Berbagai penderitaan pada
saat itu banyak dialami oleh masyarakat Indonesia, misalnya kejadian-kejadian
diberbagai wilayah di Indonesia, seperti di Cirebon pada tahun 1843 banyak
penduduk yang meninggalkan daerahnya dengan tujuan untuk menghindari dari
kekejaman belanda. Di daerah lain juga telah mengalami beberapa kejadian
kelaparan yang sangat memprihatinkan, seperti di daerah Demak dan Grobogan yang
mengakibatkan kematian secara besar-besaran. Sementara itu pada umumnya rakyat
di negeri Belanda banyak yang tidak tahu atas kekejaman di daerah tanah
jajahannya yang diakibatkan oleh Tanam Paksa, sebaliknya Tanam Paksa telah meningkatkan
kemakmuran rakyat di negeri Belanda, sebab banyak mendapat keuntungan yang
sangat melimpah dari penyelenggaraan politik Tanam Paksa, sementara akibat dari
pelaksanaan politik tersebut masyarakat pribumi (Masyarakat Indonesia) menjadi
semakin menderita.
Keadaan
seperti ini mulai berubah setelah tahun 1850, dimana rakyat Belanda memperoleh
berita mengenai kejadian yang sebenarnya di Indonesia yang ditimbulkan oleh
Tanam Paksa. Kesewenang-wenangan dari para pegawai pemerintah kolonial Belanda,
kejadian di daerah Cirebon, Demak, dan Grobogan, lambat laun sampai beritanya
di negeri Belanda, sehingga antara tahun 1850-1860 timbul terjadi perdebatan
diantara para tokoh di negeri Belanda yang peduli terhadap nasib bangsa
Indonesia akibat dari kebijakan Tanam Paksa.
Sekitar pertengahan abad
ke-19 mulai muncul gerakan humanis di Belanda yang dipelopori antara lain oleh Conrad Theodore van Deventer (1857-1915).
Gerakan ini muncul setelah ada berita-berita tentang perilaku kolonial di
Hindia Belanda, tegasnya praktek penindasan. Gerakan ini menilai bahwa Belanda
telah berhutang budi banyak kepada Hindia Belanda. Belanda telah mengambil
banyak dari negeri jajahan, praktis tanpa memberi apa-apa. Gerakan ini menuntut
perubahan bentuk hubungan yang menguntungkan sefihak tersebut menjadi hubungan
yang saling menguntungkan (symbiosis mutualism).
Adapun
yang tergolong kepada kelompok kaum humaniter lainnya diantaranya seperti :
Walter Baron Van Hoevel, Fransen Van De Futte, juga seorang Perdana Menteri
Torbeck tampil ke depan untuk membela kepentingan bangsa Indonesia. Pada saat
itu tokoh yang dianggap paling berhasil merubah opini rakyat Belanda dengan
sebuah karya tulisannya adalah “Douwes Dekker” dengan nama samarannya
“Multatuli”. Yang berhasil menulis sebuah karya buku yang berjudul “Max
Havelaar”.
Politik
Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap pro dan
kontra, baik di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan
gereja) di Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras)
di Parlemen Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang
mereka anggap sebagai sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban
moral’ terhadap rakyat Indonesia.
Pada 17 September 1901,
Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen
Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi
(een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum
dalam program Trias Politika yang
meliputi:
- irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan
bendungan untuk keperluan pertanian
- emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigras
- memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Banyak
pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan
tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya,
sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Terlepas
dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan
pidato di Staten General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis
tersebut di lapangan secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda
semata-mata mementingkan tuntutan ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan
terhadap Indonesia sama sekali tidak memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan
adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut dimungkinkan ada keseimbangan antara
unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban moral’ itu.
Jabaran
Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi
dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan
industrialis Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil
industrinya sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Kebijakan pertama dan
kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda denganmembangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah
perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya
pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Perbaikan
sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan. Mengapa
ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan
memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar
dalam tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut:
“Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan
kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak
dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat
tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”
Pada
tahun 1905, tahun pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang
dalam Parlemen Belanda, yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam
pembentukan kabinet. Seorang anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi
Menteri Jajahan. Dia bersedia memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi.
Usaha ini terdukung oleh saran dan konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor
indolog di Leiden (1906) yang menyarankan agar pemerintah kolonial Belanda
memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi yang paling baik dari
Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang berpengaruh luas
dalam masyarakat Indonesia.
Sesuai
dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak jumlah
sekolah. Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat
berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan
pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat
berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun
1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat
biasa yang hampir merata di daerah-daerah. Pada tahun 1903 mulai didirikan
sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3
tahun yang kemudian dilanjutkan denmgan program Vervolg School (sekolah
Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan sekolah semacam ini lalu
dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya, misalnya yang dinamakan Meer Uitgebreid
Leger Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan
SMP pada zaman Belanda dan program Algemeene Middelbare School (AMS) yang
jenjangnya setingkat dengan SMA.
Walaupun
nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas, namun
dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan
diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah.
Caranya ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering
diutamakan bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat,
darah keraton) atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai
dalam kantor pemerintah Belanda). Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat
bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang mampu atau kaya saja yang dapat
menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Bagi
anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak dapat
memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil
alternatif lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang dilakukan Belanda
di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan
masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan
level pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di
pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah
diintroduksi sebuah program ujian yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu
sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat
diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa
program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol, apalagi
setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi
pegawai pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat
bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Pelaksanaan
politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan.
Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya,
orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi
mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang
biayanya sangat mahal.
Ernest
Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah
yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua
penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang
Eropa yang menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Kesimpulan
Pada dasarnya politik ETIS sendiri hanyalah siasat dari pemerintah Belanda.
Selain untuk memenuhi tuntutan kaum humanis dan sosial demokrat Belanda,
pemberlakuan politik ETIS di bidang pendidikan ada kaitannya dengan kepentingan
politik pintu terbuka. Hal ini telah memunculkan kebutuhan akan tenaga yang
terdidik dan terampil di bidang administrasi. Oleh karena itu, pendidikan di
Indonesia diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan Belanda. Dengan kata
lain politik ETIS diselewengkan menjadi politik Assosiasi, artinya di dalam
pelaksanaannya di arahkan untuk kepentingan Belanda.
Ada 4 ciri pendidikan
pada masa kolonial Belanda, yaitu :
- Sistem Dualisme
Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan
Eropah dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
- Sistem Korkondansi
Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau
disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
- Sentralisasi
Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen
Pengajaran.
- Menghambat Gerakan Nasional
Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak
dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih
tinggi.