Monday, 8 February 2016

RUANG PUBLIK DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA

                          RUANG PUBLIK DAN CIVIL SOCIETY DI INDONESIA

elama ini istilah civil society dan masyarakat madani seringkali dipadankan, yakni suatu konsep mengenai suatu masyarakat yang relatif otonom atau mandiri dari negara, dan saling terintegrasi terlepas dari sekat-sekat agama, ras, suku, dan etnis. Namun sebagai suatu realitas sosial-politik, free public sphere yang diisi oleh jenis masyarakat atau komunitas tersebut di atas perlu untuk dipahami secara mendalam mengenai hakikat, konsepsi, dan aktualisasinya dalam konteks bangunan negara tertentu di mana ia ada di dalamnya. Hal ini tidak lain ialah agar tercipta suatu kondusifitas antara tata pemerintahan oleh negara dan kehendak nyata dari masyarakat, terutama dalam level grassroot.
Usaha manusia untuk berpikir mengenai konsep negara dan masyarakat telah dititi sejak berabad-abad lalu. Dalam kepustakaan barat, dikatakan bahwa tonggak pemikiran yang menyoal hal demikian ialah di masa peradaban para filsuf Yunani Kuno “berueforia” dalam intelektualitas mereka, dan hal tersebut terus berlanjut hingga abad pertengahan, abad modern, dan post-modern saat ini. Namun demikian, tidak cukuplah hal tersebut memuaskan hasrat berpikir dari manusia tentang konsep, ide, dan cita-cita tentang negara dan masyarakat, lebih-lebih dalam alam kenyataan (das sein) ide-ide yang bertebaran tersebut belum juga mampu mengkonstruksi tatanan sosial yang benar-benar mewujudkan masyarakat yang “tata tentrem kerta raharja.”
Suatu sisi pemikiran mengenai hubungan negara dan masyarakat yang hingga saat ini masih debatable di kalangan intelektual dan pemikir-pemikir ilmu sosial dan politik ialah mengenai konsep dari pada civil society dan masyarakat madani. Keduanya sering dipahami sebagai suatu padanan kata untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang telah maju (berkeadaban), otonom, berkembang, dan saling terintegrasi antar anggotanya. Kedua istilah tersebut juga sering dismakan dengan istilah masyarakat sipil.
Namun demikian, sebagaimana telah disinggung di atas bahwa peristilahan civil society secara an sich masih mengandung polemik Bahkan dikatakan oleh Adi Suryadi Culla, bahwa sampai saat ini khususnya di Indonesia belum banyak kepustakaan yang mengulas tentang “masyarakat sipil” dalam perspektif ilmu politik Kiranya kajian terhadap dua peristilahan tersebut diatas, yakni civil society dan masyarakat madani, perlu untuk diadakan terutamanya untuk menentukan proyeksi kedepan dalam membangun dinamika hubungan antara negara dan masyarakatnya. Mengingat di setiap negara selalu terdapat potensi terjadinya distorsi atas kekuasaannya terhadap warga masyarakat, maka menjadi suatu prasyarat bagi setiap warga masyarakat yang ingin maju untuk mengetahui hakikat keberadaannya terhadap negara.
Oleh karena output kajian yang demikian, maka penyelidikan yang dilakukan haruslah berupaya untuk menyeimbangkan antara kecenderungan studi yang society-centered dan state-centered Hal ini tiada lain dimaksudkan agar dapat diperoleh perimbangan cara pandang terhadap suatu permasalahan guna menemukan sebaik-baiknya kesimpulan untuk mencapai tujuan dari kajian yang diadakan.
Istilah civil society pertama muncul dari ajaran seorang orator dan pujangga  Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus (Before Christ), yakni pada tahun 106 SM, bernama Cicero. Istilah awal yang digunakan oleh Cicero ialah civilis societas, yang bermakna sebuah masyarakat yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Pengertian yang diberikan oleh Cicero ini mengacu pada gejala budaya perorangan dan masyarakat pada saat itu, yakni pada zaman Romawi. Hal ini dapat dimengerti dimana pada zaman kekuasaan imperium Romawi, tata pergaulan orang-orang yang hidup di kota-kota diatur oleh suatu hukum tertulis sebagai mana konsep hukum yang berkembang dalam tradisi civil law. Perlu ditambahkan, dalam konsep ini Cicero beranggapan bahwa  masyarakat yang hidup di luar kota dianggapnya sebagai masyarakat yang tidak beradab (barbarian) karena belum diatur oleh hukum.
Berlanjut ke zaman modern, istilah civil society kembali dihidupkan oleh John Locke (1632-1704), seorang filsuf berkebangsaan Inggris, dan J.J. Rosseau (1712-1778), seorang filsuf dari Perancis. Secara garis besar, baik John Locke maupun J.J. Rosseau mendefinisikan civil society sebagai suatu masyarakat politik yang telah berkeadaban, telah mengikatkan diri pada penguasa yang mendapat legitimasi rakyat (teori kontrak sosial), dan masyarakat yang terikat oleh adanya hukum penguasa.
Konsep civil society  dari John Locke dan J.J Rosseau tersebut bertolak dari gejala alami (parental authorithy) suatu kelompok manusia. Dengan demikian keduanya mengandaikan bahwa sebelum masa civil society , masyarakat telah hidup dalam kondisi alamiahnya yang tanpa aturan (tanpa hukum dari penguasa) dan tidak adanya kekuasaan dari otoritas yang sah (tidak ada negara atau pemerintahan). Selanjutnya pemikiran mengenai civil society yang demikian ini diikuti pula oleh Adam Smith, kesemua pemikir di atas berada dalam suatu perspektif yang mengidealisasikan civil society sebagai hasil perkembangan masyarakat pada tataran yang telah maju.
Kemudian Karl Marx dan Friederich Hegel pun juga menuangkan pemikirannya mengenai civil society. Marx dan Hegel memiliki corak yang hampir sama dalam menyikapi civil society, keduanya memandang bahwa benar civil society itu merupakan taraf yang lebih jauh dan maju dari perkembangan kehidupan manusia, akan tetapi di dalam masyarakat yang demikian ini sangat berpotensi menimbulkan konflik karena tiap individu saling memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Akhirnya mereka pun mengidealisasikan negara sebagai entitas yang mampu meredam konflik-konflik tersebut, bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penubuhan segala nilai kebaikan.
Meski berada pada barisan ide besar “kaum kiri”, namun Antonio Gramsci memiliki pandangan yang berbeda dari Marx dan Hegel. Bagi Gramsci, civil society bukan hanya melayani kepentingan individu, namun juga kelompok atau organisasi-organisasi. Dan pada gilirannya civil society dapat menjadi benteng  dari hegemoni kelas borjuis dan akhirnya menjadi pendukung negara. Di sini adapun peran negara, yakni sebagai otoritas yang mendidik civil society dan mengarahkan perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Demikianlah tinjauan umum mengenai konsep civil society dari beberapa tokoh. Terlihat bahwa dalam kemunculannya, civil society telah hadir secara “built-in” dengan corak yang lebih Euro-sentris.
Seperti halnya uraian mengenai civil society di atas yang beragam seginya menurut beberapa pakar, negara pun memiliki varian konsep yang beragam menurut para ahli. Keragaman tersebut paling tidak dapat ditelusuri mulai dari teori asal mula negara, sampai teori kedaulatan negara. Namun dalam tulisan ini tidak akan di bahas lebih jauh mengenai hakikat negara, melainkan akan langsung fokus kepada pengalaman Indonesia mengenai hubungan antara negara dengan civil society di Indonesia.
Sepanjang berdirinya Negara Indonesia, dapat dicatat adanya tiga era pemerintahan yang berkuasa. Ketiga era pemerintahan tersebut ialah rezim orde lama di bawah Soekarno, rezim orde baru di bawah Soeharto, dan orde atau era reformasi yang hingga sekarang masih bertahan.
Pemberian nomenklatur ketiga orde pemerintahan tersebut tidak didasarkan pada suatu ketentuan hukum atau instrumen hukum tertentu, melainkan lebih pada pernyataan politik para pemimpin di masanya atau penamaan dari para sejarawan dalm berbagai kepustakaan sejarah tentang politik dan pemerintahan di Indonesia. Namun demikian, ketiganya memiliki corak yang khas dalam menyelenggarakan tata pemerintahan dan mengatur warga masyarakatnya berdasarkan hukum yang berlaku di masanya, yang tentunya juga memiliki kekhasan tersendiri sebagai sebuah sistem hukum.
Termasuk dalam hal pengaturan mengenai suatu ruang publik, ketiga era pemerintahan di atas juga memiliki corak tersendiri. Hal ini tentunya berimbas pula pada perbedaan sifat, karakter dan bentuk aktivitas civil society pada ketiga masa tersebut.Di era orde lama di bawah kekuasaan Soekarno, hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara masih sangat fluktuatif, yakni baik dari aspek ekonomi, politik, hukum, dan sosial, serta pertahanan keamanan (hankam). Kondisi semacam ini disebabkan oleh karena negara Indonesia baru memperoleh kemerdekaannya, sehingga di usia yang masih sangat muda lumrah bila kondisi semacam inilah yang nampak pada realitas kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Terutama sekali pada masa-masa sebelum Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, gejala fluktuatif khususnya di bidang politik kenegaraan terjadi secara ekstrim. Pada masa ini konstitusi sebagai dasar pemerintahan negara mengalami beberapa kali pergantian[15], sistem pemerintahan presidensial pun berganti dengan parlementer seiring perubahan konstitusi tersebut, dan di masa pemerintahan dengan sistem parlementer itu kabinet pun mengalami jatuh-bangun.
Hal yang menarik untuk diungkap ialah bahwa pada masa ini, sekalipun keadaan negara Indonesia masih sangat labil sebagai negara yang baru dibentuk namun pertumbuhan civil society dapat dikatakan cukup tinggi, bahkan gejala ini nampak pada masa pra kemerdekaan. Sehingga eksistensi civil society pada masa pasca kemerdekaan dapat dikatakan sebagai suatu kelanjutan dari masa sebelumnya, yakni pada masa kolonial.
Pada masa kolonial, tumbuhnya kesadaran akan nasionalisme dalam tubuh civil society dan didukung oleh peran pers sebagai sarana penyebaran gagasan sangatlah membantu segenap komunitas pergerakan untuk membayangkan immagined community-nya, yakni masyarakat Indonesia yang merdeka. Gejala  inilah yang pada gilirannya mendorong peran civil society untuk tidak absen pada masa pasca kemerdekaan.
Bentuk partisipasi civil society pada masa pasca kemerdekaan memang dilakukan secara tidak langsung sesuai dengan ‘kodrat’-nya sebagai civil society. Namun baik dalam masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan peran civil society terus ada. Proposisinya, pertumbuhan civil society yang sehat akan mendorong terbentuknya masyarakat politik yang cukup kuat, dalam masa ini masyarakat politik tumbuh dalam bentuk partai-partai politikyang telah memiliki ide “Indonesia Merdeka’
Pada masa-masa selanjutnya pun, terlihat pertumbuhan partai politik yang sangat pesat di era pemerintahan Indonesia merdeka sebelum tahun 1959. Puncaknya ialah pada saat pemiluhan umum tahun 1955 yang dikenal dengan pemilihan umum terbersih dan bebas yang pertama kali terjadi di Indonesia.
Hal yang sangat disayangkan pasca dekrit presiden 1959, ialah pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, pembubaran konstituante, dan langkah-langkah politik lain dari Soekarno yang mencerminkan corak pemerintahan despotik-otoritarian.[20] Pada titik inilah dirasa civil society kembali mengalami hambatan dalam menjaga eksistensinya. Setelah berakhirnya era pemerintahan orde lama di bawah Soekarno, dimulailah pemerintahan era orde baru di bawah Soeharto. Di bawah rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun ini, civil society seakan dibungkam dengan strategi korporatisme negara Soeharto.
Di era orde baru diterapkan suatu kebijakan satu pintu terhadap fenomena keberagaman aktifitas sosial di masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar negara dapat mengontrol segala aktifitas masyarakat. Kebijakan semacam ini ditempuh dengan alasan stabilitas politik dan pertahanan keamanan yang akan menopang pembangunan, karena memang sektor yang menjadi fokus garapan oleh orde baru ialah di bidang pembangunan.
Kebijakan satu pintu tersebut diterapkan orde baru dengan membuat wadah-wadah bagi setiap aktifitas kelompok-kelompok masyarakat, antara lain kelompok pemuda dihimpun dalam Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNIP), wartawan dihimpun dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), para ulama dihimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sebagainya. Dengan melalui wadah-wadah bentukan negara tersebut, negara dapat setiap saat mengawasi aktifitas kelompok masyarakat yang ada di dalamnya, selain itu nega juga dapat melakukan intervensi dalam hal pemilihan para calon pemimpin organisasi dan program-program kerja. Intinya semua itu diadakan dengan tujuan stabilitas politik.
Di samping dengan cara sebagaimana disebutkan di atas, negara juga melakukan penyederhanaan partai-partai politik di Indonesia. Partai politik yang selama ini menjadi penyalur aspirasi masyarakat, pada era orde baru ditekan keberadaannya. Partai yang berhaluan Islam dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai yang berhaluan nasionalis disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai politik kristen juga masuk ke dalam PDI, sedangkan bagi para pegawai pemerintah dibuatkan wadah sebagai tempat berorganisasi dan menyalurkan aspirasi dan kadang kala juga disebut sebagai wadah “pergerakan” yakni berupa organisasi Golongan Karya. Peleburan partai-partai politik ini dilakukan rezim orde baru pasca pemiluhan umum tahun 1971.
Dengan cara-cara itulah pemerintah orde baru menjaga kestabilan politik dan pertahanan-keamanan untuk menopang pembangunan. Dan dengan cara seperti itu pula, praktis aktifitas civil society mendapat ancaman yang serius karena tidak ada lagi free public sphere yang tersedia akibat intervensi pemerintah yang terlalu intens terhadap kehidupan privat masyarakatnya.
Satu hal yang menjadi catatan penting terkait dengan kehidupan civil society di era orde baru adalah munculnya peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai pendorong demokratisasi. Dan melalui LBH ini pula masyarakat sipil menemukan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai masyarakat negara yang bebas dan memiliki martabat untuk tidak terlalu diintervensi oleh negara.
Dalam konteks ini disaat partai politik tak mampu melaksanakan perannya, LBH memainkan peran yang strategis bagi pemberdayaan civil society melalui pendekatan lain dari yang biasa dilakaukan partai politik. LBH memainkan perannya di aspek hukum baik litigasi maupun non litigasi, yakni melakukan advokasi dan juga pembelaan masyarakat yang pada masa itu sangat sering sekali mengalami gesekan kepentingan dengan pemerintah. Namun demikian, toh pada akhirnya LBH juga dinilai banyak pihak memainkan peran yang bercorak politis juga, yakni dengan mengumpulkan masa dan mendorong terciptanya demonstrasi yang memprotes kebijakan represif pemerintah orde baru.
Demikian sekilas pengalaman pada dua era pemerintahan di Indonesia sebelum reformasi terkait dengan eksistensi civil society di Indonesia. Pada prinsipnya ruang publik akan selalu ada sekalipun rezim otoritarian berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menutup akses-akses yang menuju kepadanya.
Pengalaman pada dua era pemerintahan di Indonesia pra reformasi tersebut akan nampak berbeda dengan kondisi pasca reformasi terkait dengan eksistensi civil society. Pasca runtuhnya rezim orde baru di bawah Soeharto pada tahun 1998, masyarakat menghendaki adanya reformasi di segala bidang kehidupan, termasuk di bidang sosial, politik, ekonomi dan ketatanegaraan.
Meskipun sebenarnya apa yang dicita-citakan dalam era reformasi belum juga menunjukan wujud nyata hingga sekarang, akan tetapi setidaknya dapat dikatakan “mendingan” apabila dibandingkan dengan dua era pemerintahan otoritarian di bawah kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Pada masa reformasi pembenahan demi pembenahan terkait upaya pemberdayaan civil society terus dilakukan. Dan hal yang demikian ini tidak lepas juga karena adanya tuntutan dan tekanan yang terus-menerus dari masyarakat sendiri yang mengendaki hak-haknya dijamin oleh negara.
Dalam era kehidupan liberal pasca reformasi, berbagai gerakan massa bermunculan dengan berbagai format. Beberapa diantaranya mewujud dalam LSM, komunitas-komunitas, organisasi kemasyarakatan (ornop) dan tentunya dalam tingkat masyarakat politik muncul berbagai partai politik baru. Masing-masing bentuk pergerakan tersebut tentunya memiliki fokus dan visi yang beragam, dan hal inilah yang disatu sisi menjadi kekuatan dari civil society namun di sisi lain juga berpotensi menjadi hambatan bagi pemerintah dalam menjalankan agenda kerja pemerintahan. Bahkan dimungkinkan muncul beberapa visi gerakan sekelompok masyarakat yang bertentangan secara radikal dengan cita-cita dibentuknya negara Indonesia itu sendiri.
Namun demikian, bagaimanapun juga ekses-ekses sebagaimana disebutkan di atas akan selalu timbul seiringan dengan timbulnya gerakan massa. Dan sesungguhnya sejak era pemerintahan terdahulu pun ekses-ekses dari gerakan masa sudah dapat ditemukan, termasuk gerakan pribumi yang menentang kolonialisme Belanda terhadap nusantara. Dan bila demikian adanya, sesungguhnya Indonesia pun ada berkat ekses yang timbul dari pergerakan masa yang bertentangan dengan kehendak pemerintah pada saat itu, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda.



             PEGAWAI NEGERI DAN PARTAI POLITIK, BAGAIMANA SEBAIKNYA

Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu yaitu:   Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
Keberadaan negara tidak dapat dilepaskan dari salah satu ide dasar dantujuannya, yaitu untuk melindungi hak dan kebebasan warga negara. Oleh karena itulah, salah satu substansi yang harus ada dalam konstitusi negara yang demokratis adalah jaminan perlindungan dan penegakan HAM, yang sekaligus berfungsi sebagai pembatasan terhadap kekuasaaan penyelenggara Negara.
Berkaitan dengan hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka hak bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi anggota partai politik merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin secara konstitusional, yaitu hak berserikat sebagaimana diatur dalam pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pembicaraan hak politik Pegawai Negeri Sipil dalam perpektif perlindungan hak asasi manusia, maka PNS harus dipandang dalam kedudukannya sebagai warga negara. Dalam Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan:
“Pegawai Negeri bukan saja dilihat dan diperlakukan sebagai aparatur negara tetapi juga harus dilihat dan diperlakukan sebagai warga negara, yang mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan pembinaan, hendakhya sejauh mungkin diusahakan adanya keserasian antara kepentingan dinas dengan kepentingan Pegawai Negeri sebagai perorangan, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatdan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakananugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian hak asasi bukanlah pemberian negara atau manusia manapun, dan hak itu tetap ada meskipun negara tidak mengaturnya. Setiap warga negara tidak terkecuali mereka yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil juga memiliki seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi membawa konsekwensi berupa kewajiban negara untuk melindunginya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Apabila kriteria pembatasan HAM tersebut dikaitkan dengan latar belakang dan tujuan kebijakan netralitas politik PNS, sesungguhnya tekanan dan mobilisasi politik oleh kekuasaan penguasa politik untuk mendukung pemenangan Golkar pada masa Orde Baru, merupakan pelanggaran hak berserikat bagi PNS sebagai warga negara, tetapi hal tersebut tidak dijadikan dasar kebijakan netralitas PNS, sehingga kebijakan yangditerapkan adalah larangan PNS menjadi anggota parpol, yang jugamerupakan bentuk pembatasan hak konstitusional PNS. Dengan demikian alasan pembatasan HAM dalam kebijakan netralitas mobilisasi politik PNS merupakan pertimbangan politis, yang jelas tidak memenuhi kriteria alasan pembatasan HAM.
Kerapkali HAM (secara pribadi-pribadi) dilanggar dengan alasan bahwa yang dipentingkanadalah hak masyarakat sebagai satu kesatuan di bawah jargon “kepentingan umum”, sementara ukuran-ukuran kepentinagn umum itu sendiri tidak pernah jelas juga sehingga kepentingan umum menjadi identik dengan kepentingan pemerintah. Perlu disadari pula bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, dan dari pengalaman sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar prinsip konstusionalisme terutama melanggar HAM selalu bisa dibenarkan secara formal konstitusional karena diberi baju hukum berupa Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran prinsip dan konsepsi dari negara hukum menjadi negara undang-undang.  Dalam negara undang-undang seperti ini ukuran-ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma etika yang tinggi, melainkan kalimat-kalimat yang pembenarannya dilakukan melalui rekayasa bagi kepentingan pemerintah.

formulasi tentang perlindtmgan HAM harus menutup pintu bagi dilakukannya pembalikan dari konsepsi “kekuasaan sebagai residu HAM” menjadi “HAM sebagai residu kekuasaan” seperti yang terjadi selama ini. Ini berarti bahwa atribusi dan delegasi kewenangan kepada pemerintah untuk membuat lagi UU atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan HAM harus sangat dibatasi.  Oleh karena itu dalam menilai konstitusionalitas kebijakan netralitas politik PNS tidaklah cukup dari segi formalitasnya saja tetapi perlu dikaji esensi dari pengaturan tersebut.

No comments:

Post a Comment