RUANG PUBLIK DAN
CIVIL SOCIETY DI INDONESIA
elama ini istilah civil society dan
masyarakat madani seringkali dipadankan, yakni suatu konsep mengenai suatu
masyarakat yang relatif otonom atau mandiri dari negara, dan saling
terintegrasi terlepas dari sekat-sekat agama, ras, suku, dan etnis. Namun
sebagai suatu realitas sosial-politik, free public sphere yang diisi oleh jenis
masyarakat atau komunitas tersebut di atas perlu untuk dipahami secara mendalam
mengenai hakikat, konsepsi, dan aktualisasinya dalam konteks bangunan negara
tertentu di mana ia ada di dalamnya. Hal ini tidak lain ialah agar tercipta
suatu kondusifitas antara tata pemerintahan oleh negara dan kehendak nyata dari
masyarakat, terutama dalam level grassroot.
Usaha manusia untuk berpikir mengenai
konsep negara dan masyarakat telah dititi sejak berabad-abad lalu. Dalam
kepustakaan barat, dikatakan bahwa tonggak pemikiran yang menyoal hal demikian
ialah di masa peradaban para filsuf Yunani Kuno “berueforia” dalam
intelektualitas mereka, dan hal tersebut terus berlanjut hingga abad
pertengahan, abad modern, dan post-modern saat ini. Namun demikian, tidak
cukuplah hal tersebut memuaskan hasrat berpikir dari manusia tentang konsep,
ide, dan cita-cita tentang negara dan masyarakat, lebih-lebih dalam alam
kenyataan (das sein) ide-ide yang bertebaran tersebut belum juga mampu
mengkonstruksi tatanan sosial yang benar-benar mewujudkan masyarakat yang “tata
tentrem kerta raharja.”
Suatu sisi pemikiran mengenai hubungan
negara dan masyarakat yang hingga saat ini masih debatable di kalangan
intelektual dan pemikir-pemikir ilmu sosial dan politik ialah mengenai konsep
dari pada civil society dan masyarakat madani. Keduanya sering dipahami sebagai
suatu padanan kata untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang telah maju
(berkeadaban), otonom, berkembang, dan saling terintegrasi antar anggotanya.
Kedua istilah tersebut juga sering dismakan dengan istilah masyarakat sipil.
Namun demikian, sebagaimana telah
disinggung di atas bahwa peristilahan civil society secara an sich masih
mengandung polemik Bahkan dikatakan oleh Adi Suryadi Culla, bahwa sampai saat
ini khususnya di Indonesia belum banyak kepustakaan yang mengulas tentang
“masyarakat sipil” dalam perspektif ilmu politik Kiranya kajian terhadap dua
peristilahan tersebut diatas, yakni civil society dan masyarakat madani, perlu
untuk diadakan terutamanya untuk menentukan proyeksi kedepan dalam membangun
dinamika hubungan antara negara dan masyarakatnya. Mengingat di setiap negara selalu
terdapat potensi terjadinya distorsi atas kekuasaannya terhadap warga
masyarakat, maka menjadi suatu prasyarat bagi setiap warga masyarakat yang
ingin maju untuk mengetahui hakikat keberadaannya terhadap negara.
Oleh karena output kajian yang demikian,
maka penyelidikan yang dilakukan haruslah berupaya untuk menyeimbangkan antara
kecenderungan studi yang society-centered dan state-centered Hal ini tiada lain
dimaksudkan agar dapat diperoleh perimbangan cara pandang terhadap suatu
permasalahan guna menemukan sebaik-baiknya kesimpulan untuk mencapai tujuan
dari kajian yang diadakan.
Istilah civil society pertama muncul
dari ajaran seorang orator dan pujangga
Roma yang hidup dalam abad pertama sebelum Kristus (Before Christ),
yakni pada tahun 106 SM, bernama Cicero. Istilah awal yang digunakan oleh
Cicero ialah civilis societas, yang bermakna sebuah masyarakat yang memiliki
kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup. Pengertian yang diberikan oleh
Cicero ini mengacu pada gejala budaya perorangan dan masyarakat pada saat itu,
yakni pada zaman Romawi. Hal ini dapat dimengerti dimana pada zaman kekuasaan
imperium Romawi, tata pergaulan orang-orang yang hidup di kota-kota diatur oleh
suatu hukum tertulis sebagai mana konsep hukum yang berkembang dalam tradisi civil
law. Perlu ditambahkan, dalam konsep ini Cicero beranggapan bahwa masyarakat yang hidup di luar kota
dianggapnya sebagai masyarakat yang tidak beradab (barbarian) karena belum
diatur oleh hukum.
Berlanjut ke zaman modern, istilah civil
society kembali dihidupkan oleh John Locke (1632-1704), seorang filsuf
berkebangsaan Inggris, dan J.J. Rosseau (1712-1778), seorang filsuf dari
Perancis. Secara garis besar, baik John Locke maupun J.J. Rosseau
mendefinisikan civil society sebagai suatu masyarakat politik yang telah
berkeadaban, telah mengikatkan diri pada penguasa yang mendapat legitimasi
rakyat (teori kontrak sosial), dan masyarakat yang terikat oleh adanya hukum
penguasa.
Konsep civil society dari John Locke dan J.J Rosseau tersebut
bertolak dari gejala alami (parental authorithy) suatu kelompok manusia. Dengan
demikian keduanya mengandaikan bahwa sebelum masa civil society , masyarakat
telah hidup dalam kondisi alamiahnya yang tanpa aturan (tanpa hukum dari
penguasa) dan tidak adanya kekuasaan dari otoritas yang sah (tidak ada negara
atau pemerintahan). Selanjutnya pemikiran mengenai civil society yang demikian
ini diikuti pula oleh Adam Smith, kesemua pemikir di atas berada dalam suatu
perspektif yang mengidealisasikan civil society sebagai hasil perkembangan
masyarakat pada tataran yang telah maju.
Kemudian Karl Marx dan Friederich Hegel
pun juga menuangkan pemikirannya mengenai civil society. Marx dan Hegel
memiliki corak yang hampir sama dalam menyikapi civil society, keduanya
memandang bahwa benar civil society itu merupakan taraf yang lebih jauh dan
maju dari perkembangan kehidupan manusia, akan tetapi di dalam masyarakat yang
demikian ini sangat berpotensi menimbulkan konflik karena tiap individu saling
memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Akhirnya mereka pun
mengidealisasikan negara sebagai entitas yang mampu meredam konflik-konflik
tersebut, bahkan Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penubuhan segala nilai
kebaikan.
Meski berada pada barisan ide besar
“kaum kiri”, namun Antonio Gramsci memiliki pandangan yang berbeda dari Marx
dan Hegel. Bagi Gramsci, civil society bukan hanya melayani kepentingan
individu, namun juga kelompok atau organisasi-organisasi. Dan pada gilirannya
civil society dapat menjadi benteng dari
hegemoni kelas borjuis dan akhirnya menjadi pendukung negara. Di sini adapun
peran negara, yakni sebagai otoritas yang mendidik civil society dan
mengarahkan perkembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Demikianlah
tinjauan umum mengenai konsep civil society dari beberapa tokoh. Terlihat bahwa
dalam kemunculannya, civil society telah hadir secara “built-in” dengan corak
yang lebih Euro-sentris.
Seperti halnya uraian mengenai civil
society di atas yang beragam seginya menurut beberapa pakar, negara pun
memiliki varian konsep yang beragam menurut para ahli. Keragaman tersebut
paling tidak dapat ditelusuri mulai dari teori asal mula negara, sampai teori
kedaulatan negara. Namun dalam tulisan ini tidak akan di bahas lebih jauh
mengenai hakikat negara, melainkan akan langsung fokus kepada pengalaman
Indonesia mengenai hubungan antara negara dengan civil society di Indonesia.
Sepanjang berdirinya Negara Indonesia,
dapat dicatat adanya tiga era pemerintahan yang berkuasa. Ketiga era
pemerintahan tersebut ialah rezim orde lama di bawah Soekarno, rezim orde baru
di bawah Soeharto, dan orde atau era reformasi yang hingga sekarang masih
bertahan.
Pemberian nomenklatur ketiga orde
pemerintahan tersebut tidak didasarkan pada suatu ketentuan hukum atau
instrumen hukum tertentu, melainkan lebih pada pernyataan politik para pemimpin
di masanya atau penamaan dari para sejarawan dalm berbagai kepustakaan sejarah
tentang politik dan pemerintahan di Indonesia. Namun demikian, ketiganya
memiliki corak yang khas dalam menyelenggarakan tata pemerintahan dan mengatur
warga masyarakatnya berdasarkan hukum yang berlaku di masanya, yang tentunya
juga memiliki kekhasan tersendiri sebagai sebuah sistem hukum.
Termasuk dalam hal pengaturan mengenai
suatu ruang publik, ketiga era pemerintahan di atas juga memiliki corak
tersendiri. Hal ini tentunya berimbas pula pada perbedaan sifat, karakter dan
bentuk aktivitas civil society pada ketiga masa tersebut.Di era orde lama di
bawah kekuasaan Soekarno, hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
masih sangat fluktuatif, yakni baik dari aspek ekonomi, politik, hukum, dan
sosial, serta pertahanan keamanan (hankam). Kondisi semacam ini disebabkan oleh
karena negara Indonesia baru memperoleh kemerdekaannya, sehingga di usia yang
masih sangat muda lumrah bila kondisi semacam inilah yang nampak pada realitas
kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Terutama sekali pada masa-masa sebelum
Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, gejala fluktuatif khususnya di bidang
politik kenegaraan terjadi secara ekstrim. Pada masa ini konstitusi sebagai
dasar pemerintahan negara mengalami beberapa kali pergantian[15], sistem
pemerintahan presidensial pun berganti dengan parlementer seiring perubahan
konstitusi tersebut, dan di masa pemerintahan dengan sistem parlementer itu kabinet
pun mengalami jatuh-bangun.
Hal yang menarik untuk diungkap ialah
bahwa pada masa ini, sekalipun keadaan negara Indonesia masih sangat labil
sebagai negara yang baru dibentuk namun pertumbuhan civil society dapat
dikatakan cukup tinggi, bahkan gejala ini nampak pada masa pra kemerdekaan.
Sehingga eksistensi civil society pada masa pasca kemerdekaan dapat dikatakan
sebagai suatu kelanjutan dari masa sebelumnya, yakni pada masa kolonial.
Pada masa kolonial, tumbuhnya kesadaran
akan nasionalisme dalam tubuh civil society dan didukung oleh peran pers
sebagai sarana penyebaran gagasan sangatlah membantu segenap komunitas
pergerakan untuk membayangkan immagined community-nya, yakni masyarakat
Indonesia yang merdeka. Gejala inilah
yang pada gilirannya mendorong peran civil society untuk tidak absen pada masa
pasca kemerdekaan.
Bentuk partisipasi civil society pada
masa pasca kemerdekaan memang dilakukan secara tidak langsung sesuai dengan
‘kodrat’-nya sebagai civil society. Namun baik dalam masa pra kemerdekaan
maupun pasca kemerdekaan peran civil society terus ada. Proposisinya,
pertumbuhan civil society yang sehat akan mendorong terbentuknya masyarakat
politik yang cukup kuat, dalam masa ini masyarakat politik tumbuh dalam bentuk
partai-partai politikyang telah memiliki ide “Indonesia Merdeka’
Pada masa-masa selanjutnya pun, terlihat
pertumbuhan partai politik yang sangat pesat di era pemerintahan Indonesia
merdeka sebelum tahun 1959. Puncaknya ialah pada saat pemiluhan umum tahun 1955
yang dikenal dengan pemilihan umum terbersih dan bebas yang pertama kali
terjadi di Indonesia.
Hal yang sangat disayangkan pasca dekrit
presiden 1959, ialah pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup,
pembubaran konstituante, dan langkah-langkah politik lain dari Soekarno yang
mencerminkan corak pemerintahan despotik-otoritarian.[20] Pada titik inilah
dirasa civil society kembali mengalami hambatan dalam menjaga eksistensinya.
Setelah berakhirnya era pemerintahan orde lama di bawah Soekarno, dimulailah
pemerintahan era orde baru di bawah Soeharto. Di bawah rezim Soeharto yang
berkuasa selama 32 tahun ini, civil society seakan dibungkam dengan strategi
korporatisme negara Soeharto.
Di era orde baru diterapkan suatu
kebijakan satu pintu terhadap fenomena keberagaman aktifitas sosial di
masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar negara dapat mengontrol segala aktifitas
masyarakat. Kebijakan semacam ini ditempuh dengan alasan stabilitas politik dan
pertahanan keamanan yang akan menopang pembangunan, karena memang sektor yang
menjadi fokus garapan oleh orde baru ialah di bidang pembangunan.
Kebijakan satu pintu tersebut diterapkan
orde baru dengan membuat wadah-wadah bagi setiap aktifitas kelompok-kelompok
masyarakat, antara lain kelompok pemuda dihimpun dalam Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNIP), wartawan dihimpun dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI),
para ulama dihimpun dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sebagainya. Dengan
melalui wadah-wadah bentukan negara tersebut, negara dapat setiap saat
mengawasi aktifitas kelompok masyarakat yang ada di dalamnya, selain itu nega
juga dapat melakukan intervensi dalam hal pemilihan para calon pemimpin
organisasi dan program-program kerja. Intinya semua itu diadakan dengan tujuan
stabilitas politik.
Di samping dengan cara sebagaimana disebutkan
di atas, negara juga melakukan penyederhanaan partai-partai politik di
Indonesia. Partai politik yang selama ini menjadi penyalur aspirasi masyarakat,
pada era orde baru ditekan keberadaannya. Partai yang berhaluan Islam dilebur
dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan partai yang berhaluan nasionalis
disatukan dalam wadah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai politik kristen
juga masuk ke dalam PDI, sedangkan bagi para pegawai pemerintah dibuatkan wadah
sebagai tempat berorganisasi dan menyalurkan aspirasi dan kadang kala juga
disebut sebagai wadah “pergerakan” yakni berupa organisasi Golongan Karya.
Peleburan partai-partai politik ini dilakukan rezim orde baru pasca pemiluhan
umum tahun 1971.
Dengan cara-cara itulah pemerintah orde
baru menjaga kestabilan politik dan pertahanan-keamanan untuk menopang
pembangunan. Dan dengan cara seperti itu pula, praktis aktifitas civil society
mendapat ancaman yang serius karena tidak ada lagi free public sphere yang
tersedia akibat intervensi pemerintah yang terlalu intens terhadap kehidupan
privat masyarakatnya.
Satu hal yang menjadi catatan penting
terkait dengan kehidupan civil society di era orde baru adalah munculnya peran
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai pendorong demokratisasi. Dan melalui LBH ini
pula masyarakat sipil menemukan ruang untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai
masyarakat negara yang bebas dan memiliki martabat untuk tidak terlalu
diintervensi oleh negara.
Dalam konteks ini disaat partai politik
tak mampu melaksanakan perannya, LBH memainkan peran yang strategis bagi
pemberdayaan civil society melalui pendekatan lain dari yang biasa dilakaukan
partai politik. LBH memainkan perannya di aspek hukum baik litigasi maupun non
litigasi, yakni melakukan advokasi dan juga pembelaan masyarakat yang pada masa
itu sangat sering sekali mengalami gesekan kepentingan dengan pemerintah. Namun
demikian, toh pada akhirnya LBH juga dinilai banyak pihak memainkan peran yang
bercorak politis juga, yakni dengan mengumpulkan masa dan mendorong terciptanya
demonstrasi yang memprotes kebijakan represif pemerintah orde baru.
Demikian sekilas pengalaman pada dua era
pemerintahan di Indonesia sebelum reformasi terkait dengan eksistensi civil
society di Indonesia. Pada prinsipnya ruang publik akan selalu ada sekalipun
rezim otoritarian berusaha dengan sekeras-kerasnya untuk menutup akses-akses
yang menuju kepadanya.
Pengalaman pada dua era pemerintahan di
Indonesia pra reformasi tersebut akan nampak berbeda dengan kondisi pasca
reformasi terkait dengan eksistensi civil society. Pasca runtuhnya rezim orde
baru di bawah Soeharto pada tahun 1998, masyarakat menghendaki adanya reformasi
di segala bidang kehidupan, termasuk di bidang sosial, politik, ekonomi dan
ketatanegaraan.
Meskipun sebenarnya apa yang
dicita-citakan dalam era reformasi belum juga menunjukan wujud nyata hingga
sekarang, akan tetapi setidaknya dapat dikatakan “mendingan” apabila
dibandingkan dengan dua era pemerintahan otoritarian di bawah kekuasaan
Soekarno dan Soeharto. Pada masa reformasi pembenahan demi pembenahan terkait
upaya pemberdayaan civil society terus dilakukan. Dan hal yang demikian ini
tidak lepas juga karena adanya tuntutan dan tekanan yang terus-menerus dari
masyarakat sendiri yang mengendaki hak-haknya dijamin oleh negara.
Dalam era kehidupan liberal pasca
reformasi, berbagai gerakan massa bermunculan dengan berbagai format. Beberapa
diantaranya mewujud dalam LSM, komunitas-komunitas, organisasi kemasyarakatan
(ornop) dan tentunya dalam tingkat masyarakat politik muncul berbagai partai
politik baru. Masing-masing bentuk pergerakan tersebut tentunya memiliki fokus
dan visi yang beragam, dan hal inilah yang disatu sisi menjadi kekuatan dari
civil society namun di sisi lain juga berpotensi menjadi hambatan bagi
pemerintah dalam menjalankan agenda kerja pemerintahan. Bahkan dimungkinkan
muncul beberapa visi gerakan sekelompok masyarakat yang bertentangan secara
radikal dengan cita-cita dibentuknya negara Indonesia itu sendiri.
Namun demikian, bagaimanapun juga
ekses-ekses sebagaimana disebutkan di atas akan selalu timbul seiringan dengan
timbulnya gerakan massa. Dan sesungguhnya sejak era pemerintahan terdahulu pun
ekses-ekses dari gerakan masa sudah dapat ditemukan, termasuk gerakan pribumi
yang menentang kolonialisme Belanda terhadap nusantara. Dan bila demikian
adanya, sesungguhnya Indonesia pun ada berkat ekses yang timbul dari pergerakan
masa yang bertentangan dengan kehendak pemerintah pada saat itu, yakni
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
PEGAWAI NEGERI DAN PARTAI POLITIK,
BAGAIMANA SEBAIKNYA
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk
pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu
yaitu: Pertama, penyalahgunaan
kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan
kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin
usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan
bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa
bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara
secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor
pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti
bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di
kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan
menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran
kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak
adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
Keberadaan negara tidak dapat dilepaskan
dari salah satu ide dasar dantujuannya, yaitu untuk melindungi hak dan
kebebasan warga negara. Oleh karena itulah, salah satu substansi yang harus ada
dalam konstitusi negara yang demokratis adalah jaminan perlindungan dan
penegakan HAM, yang sekaligus berfungsi sebagai pembatasan terhadap kekuasaaan
penyelenggara Negara.
Berkaitan dengan hak-hak asasi
sebagaimana diatur dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di
Indonesia, maka hak bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi anggota partai
politik merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin secara
konstitusional, yaitu hak berserikat sebagaimana diatur dalam pasal 28E ayat
(3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat. Dalam pembicaraan hak politik Pegawai Negeri Sipil dalam perpektif
perlindungan hak asasi manusia, maka PNS harus dipandang dalam kedudukannya
sebagai warga negara. Dalam Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan:
“Pegawai Negeri bukan saja dilihat dan
diperlakukan sebagai aparatur negara tetapi juga harus dilihat dan diperlakukan
sebagai warga negara, yang mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan
pembinaan, hendakhya sejauh mungkin diusahakan adanya keserasian antara
kepentingan dinas dengan kepentingan Pegawai Negeri sebagai perorangan, Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatdan keberadaan manusia
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakananugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian hak asasi bukanlah
pemberian negara atau manusia manapun, dan hak itu tetap ada meskipun negara
tidak mengaturnya. Setiap warga negara tidak terkecuali mereka yang berprofesi
sebagai Pegawai Negeri Sipil juga memiliki seperangkat hak asasi yang harus
dihormati dan dijunjung tinggi. Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi
membawa konsekwensi berupa kewajiban negara untuk melindunginya. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama
Pemerintah.
Apabila kriteria pembatasan HAM tersebut
dikaitkan dengan latar belakang dan tujuan kebijakan netralitas politik PNS,
sesungguhnya tekanan dan mobilisasi politik oleh kekuasaan penguasa politik
untuk mendukung pemenangan Golkar pada masa Orde Baru, merupakan pelanggaran
hak berserikat bagi PNS sebagai warga negara, tetapi hal tersebut tidak
dijadikan dasar kebijakan netralitas PNS, sehingga kebijakan yangditerapkan
adalah larangan PNS menjadi anggota parpol, yang jugamerupakan bentuk
pembatasan hak konstitusional PNS. Dengan demikian alasan pembatasan HAM dalam
kebijakan netralitas mobilisasi politik PNS merupakan pertimbangan politis,
yang jelas tidak memenuhi kriteria alasan pembatasan HAM.
Kerapkali HAM (secara pribadi-pribadi)
dilanggar dengan alasan bahwa yang dipentingkanadalah hak masyarakat sebagai
satu kesatuan di bawah jargon “kepentingan umum”, sementara ukuran-ukuran
kepentinagn umum itu sendiri tidak pernah jelas juga sehingga kepentingan umum
menjadi identik dengan kepentingan pemerintah. Perlu disadari pula bahwa tidak
ada kebenaran yang absolut, dan dari pengalaman sejarah masa lalu juga
membuktikan bahwa tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar prinsip
konstusionalisme terutama melanggar HAM selalu bisa dibenarkan secara formal
konstitusional karena diberi baju hukum berupa Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan lainnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran prinsip dan
konsepsi dari negara hukum menjadi negara undang-undang. Dalam negara undang-undang seperti ini
ukuran-ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma
etika yang tinggi, melainkan kalimat-kalimat yang pembenarannya dilakukan
melalui rekayasa bagi kepentingan pemerintah.
formulasi tentang perlindtmgan HAM harus
menutup pintu bagi dilakukannya pembalikan dari konsepsi “kekuasaan sebagai
residu HAM” menjadi “HAM sebagai residu kekuasaan” seperti yang terjadi selama
ini. Ini berarti bahwa atribusi dan delegasi kewenangan kepada pemerintah untuk
membuat lagi UU atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
HAM harus sangat dibatasi. Oleh karena
itu dalam menilai konstitusionalitas kebijakan netralitas politik PNS tidaklah
cukup dari segi formalitasnya saja tetapi perlu dikaji esensi dari pengaturan
tersebut.
No comments:
Post a Comment