Banyak orang mendefenisikan cinta dengan berbagai perumpamaan. Ada yang mengatakan cinta itu bagai angin datang dan pergi dengan sesuka hatinya. Atau seperti bunga yang berkembang namun cepat layu tapi satu dua ada yang seperti bunga edelweis yang kan selalu abadi. Dan ada juga yang mengatakan cinta itu seperti tanaman yang bertumbuh dan berbuah bila dirawat dengan baik. Masih banyak lagi perumpamaan yang dibuat untuk mendefenisikan perasaan mereka menurut keyakinan dan pengalaman mereka masing-masing. Tapi bagiku cinta itu seperti musim di negara eropa, cinta itu seperti empat musim.
Musim panas, musim gugur, musim dingin dan musim semi. Keempat musim itu silih berganti terjadi dalam cinta. Huah.. sok romantis ya aku padahal pacar aja nggak punya. Tapi eits.. jangan ngetawai gitu dong. Sekarang aku emang belum punya pacar tapi bukan berarti aku nggak pernah pacaran. Aku tuh pernah pacaran sekali, yah.. emang sekali tapi lumayanlah daripada belum pernah sama sekali. Tapi mengenai dia sang mantan nggak perlu deh diceritain mending aku cerita nih kenapa aku mendefenisikan cinta itu seperti 4 musim. Tapi.. ini bukan seluruhnya pengalaman aku sih. Hanya melihat sekelilingku aja.. hehehe. Tapi aku tunda dulu ya ngejelasinnya, karena sudah saatnya aku berangkat kuliah.
Aku duduk di bawah pohon akasia di depan ruangan perkuliahan ditemani angin yang berhembus lembut. Di tanganku buku catatan perkuliahan sepertinya takut karena aku pelototi terus sehingga dari tadi nggak mau diam hehe.. nggak deng. Buku catatanku nggak mau diam karena angin yang berhembus sama seperti rambutku yang dari tadi lincah ke sana ke mari bergerak. Aku menaikkan wajahku mengalihkan mataku dari buku catatanku. Siang-siang gini memang asyik duduk di bawah pohon ditemani angin yang berhembus rasanya sejuk banget. Aku memejamkan mataku menikmati angin yang membelaiku lembut dan juga dedaunan yang bergoyang lembut yang membuat sinar matahari sesekali mengenai tubuhkan dan merasakan kehangatannya. Hmm.. Aku merentangkan tanganku dah kayak di film Titanic aja.
“Hei ngapain kamu, lagi yoga ya.” sapaan seseorang membuyarkan kesenanganku, ku buka sebelah mataku. Si Dea sudah ada di depanku. Lalu ku buka kedua mataku dan memperbaiki posisi dudukku. “Yoga apaan? ngapain juga di kampus yoga?” Ucapku sewot. Dea tertawa kecil heh.. sudah bisa tertawa dia walau sedikit. Dea langsung duduk di sisiku. “Adem ya di sini.” ucapnya. “Jelas tu…” ucapku sambil kembali membaca buku catatanku bukannya sok rajin ya tapi ku belajar karena di jam perkuliahanku sebentar lagi bakalan ada kuis dari dosenku.
“Rajin amat lo belajar.” ucap Dea.
“Hidup ini serba salah De, kalau kita belajar dikatain rajin amat atau sok rajin terus kalau nggak belajar dikatain malas. Hadeh serba salah De.” ucapku cuek sambil tetap membaca buku catatanku.
“Yah.. gitu deh Vay.” ucap Dea sambil mendesah pelan.
“Kenapa mendesah gitu kayak berbeban berat gitu.” ucapku sambil melihat ke Dea.
“Biasa Vay, masih nggak enakan dengan Gandi.” Ucap Dea pelan.
“Hidup ini serba salah De, kalau kita belajar dikatain rajin amat atau sok rajin terus kalau nggak belajar dikatain malas. Hadeh serba salah De.” ucapku cuek sambil tetap membaca buku catatanku.
“Yah.. gitu deh Vay.” ucap Dea sambil mendesah pelan.
“Kenapa mendesah gitu kayak berbeban berat gitu.” ucapku sambil melihat ke Dea.
“Biasa Vay, masih nggak enakan dengan Gandi.” Ucap Dea pelan.
“Aku hanya nggak ngerti ya Vay, kenapa sikap Gandi itu nyebelin amat. Dia lebih milih bareng temannya daripada aku eh malah dia nuduh aku mau mengekang dia. Padahal aku hanya ingin dia bagi waktu ke aku, huh.. nyebelin banget.” Ucap Dea. “Ya sabar De, kalian harus ngobrol berdua dengan tenang cari waktu yang tepat terus bicara dari hati ke hati supaya jangan salah paham De.” ucapku sambil menutup buku catatanku. Kalau sudah begini belajar adalah mimpi di siang bolong. “Itulah, aku nggak tahu gimana ngomong ke Gandi karena setiap bicara tentang hubungan kami ujung-ujungnya kami selalu berdebat kusir. Tak ada penyelesainnya.” Ucap Dea.
Nah ini dia yang aku bilang cinta 4 musim. Sekarang hubungan Dea dan Gandi sedang musim panas, dan butuh ketenangan. Bagusnya main ke pantai, minum es kelapa muda atau duduk asyik di bawah pohon supaya sedikit adem kemudian baru bisa ngobrol dengan kepala dingin. “Kamu harus sabar De, dan bicara itu dengan kepala dingin dan jangan keras kepala harus ada yang mengalah.” Ucapku sok bijak, nggak tahu deh banyak banget orang yang curhat denganku. Mereka pikir aku pakarnya kali ya.. padahal aku aja masih belum jelas perjalanan cintaku. Dan itulah obrolan kami dengan Dea di bawah pohon siang itu.
Aku menatap Rain yang duduk sambil melamun di sudut ruang kuliah. Wajahnya yang lembut itu terlihat mendung. Apakah ini masih tentang Bintang pacar yang sangat dia cintai. Aku duduk di bangkuku sambil memperhatikan Rain. Dari sejak sejam lalu setelah selesai kuliah Rain duduk di bangku itu sambil melamun. Aku dan Dea hanya bisa diam dan duduk tak jauh dari Rain. Bintang adalah senior kami yang sudah lulus kuliah, dia sekarang sudah bekerja. Aku nggak paham kenapa Rain dan Bintang yang dulunya sangat mesra jadi berubah seperti ini. Rain sering menangis karena kecuekan Bintang dengan alasan sibuk kerja.
Hmm.. apakah Bintang kerja 24 jam sehingga seluruh waktunya tersita. Rain sudah jarang bertemu dengan Bintang dan kalau bertemu hanya sebentar. Dan itu pun Bintang tidak terlalu peduli dengan apa yang dirasakan Rain. Bintang hanya bicara tentang dirinya dan pekerjaannya. Sikap Bintang berubah cuek terkesan dingin. Mungkin kisah cinta mereka sekarang sedang musim dingin. Enaknya tinggal di rumah menyalakan perapian dan duduk di depan perapian sambil minum cokelat panas. Boleh juga sambil merenung.. heheehe. Mungin harus itu yang dilakukan Rain duduk dan merenung tentang hubungan mereka lalu setelah itu bicara dari hati ke hati dengan Bintang. Ku lirik Dea yang ternyata melamun juga. Yeileh.. kenapa teman-temanku masuk ke musim yang membuat galau ya.
“De.” panggilku pada Dea, Dea diam aja mungkin lamunannya sangat dalam. Suaraku pun tak bisa menjangkau ke dalaman lamunannya, ku lirik Rain masih sama seperti tadi. Huh. baiklah aku akan diam aja di sini menemani kalian sampai kalian bosan untuk melamun dan aku bosan pangkat seribu. Hari ini berlalu dengan lamunan yang menghanyutkan dari kedua sahabatku ini. Aku lagi asyik duduk di kursi teras belakang rumah, ditemani smartphoneku dan sebuah novel. Headphone biru muda bertengger manis di kedua telingaku. Angin sore ini menemaniku sambil bermain-main dengan rambutku. Saat-saat seperti ini saat yang paling indah, ada musik yang lembut, novel, suasana sejuk dan tenang plus hampir lupa cemilan hehehe. Suasana ini membuatku hanyut dalam perjalanan novelku. Tiba-tiba.. badai datang.
“Kakak.” sebuah suara yang kuat dan tepukan mendarat di bahuku. Jantungku seakan berhenti dan novel d itanganku terjatuh. Aku terdiam sejenak. Setelah mendapati diriku kembali. Aku menarik napas lalu menoleh. Yah.. badai itu Rendi adikku. Rendi memberi senyum manis padaku -itu menurut dia karena sebenarnya terasa pahit bagiku. Ku lepaskan headphone dari telingaku.
“Ada apa sih Ren?” ucapku kesal, jengkel, tapi menahan diri.
“Maaf, ngagetin.” ucapnya yang langsung sadar kalau dia sudah badai bagiku saat ini.
“Baiklah, kalau sesuatu yang mau kamu sampaikan ini sesuatu yang baik. Aku akan memaafkanmu tapi kalau tidak.” ucapku merapatkan gigiku. Rendi malah tertawa.
“Jelek tahu kalau marah-marah.” ucapnya, lalu duduk di kursi di sebelahku. Rendi tidak peduli dengan perkataanku. Aku mendesah pelan, dan mengendurkan urat sarafku yang tadi sempat menegang.
“Maaf, ngagetin.” ucapnya yang langsung sadar kalau dia sudah badai bagiku saat ini.
“Baiklah, kalau sesuatu yang mau kamu sampaikan ini sesuatu yang baik. Aku akan memaafkanmu tapi kalau tidak.” ucapku merapatkan gigiku. Rendi malah tertawa.
“Jelek tahu kalau marah-marah.” ucapnya, lalu duduk di kursi di sebelahku. Rendi tidak peduli dengan perkataanku. Aku mendesah pelan, dan mengendurkan urat sarafku yang tadi sempat menegang.
“Kak, aku lagi bahagia ini.” ucapnya. Ku ambil novelku yang tadi terjatuh ke lantai, sambil menanggapi perkataan Rendi. “Kenapa, dah jadian dengan Sasa?” ucapku sambil mengambil posisi duduk yang nyaman lagi.
“Loh kok tahu?” ucap Rendi kaget.
“Iya dong, kayaknya sekarang ini hal itu adalah hal yang paling membuatmu bahagia.” ucapku santai. Rendi tertawa lalu berdiri di hadapanku. “Kakak emang jagonya nebak.” ucapnya, sambil mengacungkan jempolnya.
“Jadi aku dah bisa ikut main lotre nih.” ucapku pada Rendi. Lotre? zaman kapan tuh.. emang sekarang masih ada lotre? hehehe.
“Iya Kak. Kakak pasti menang.” ucap adikku lagi, ku lihat wajahnya yang ceria itu. Bahagia banget sudah jadian dengan Sasa. Cewek yang sudah lama dia suka.
“Oke deh. Aku nggak mau mengganggu Kakak lama-lama, aku pergi dulu deh.” ucapnya sambil melangkah pergi. Syukurlah ni anak pengertian.
“Loh kok tahu?” ucap Rendi kaget.
“Iya dong, kayaknya sekarang ini hal itu adalah hal yang paling membuatmu bahagia.” ucapku santai. Rendi tertawa lalu berdiri di hadapanku. “Kakak emang jagonya nebak.” ucapnya, sambil mengacungkan jempolnya.
“Jadi aku dah bisa ikut main lotre nih.” ucapku pada Rendi. Lotre? zaman kapan tuh.. emang sekarang masih ada lotre? hehehe.
“Iya Kak. Kakak pasti menang.” ucap adikku lagi, ku lihat wajahnya yang ceria itu. Bahagia banget sudah jadian dengan Sasa. Cewek yang sudah lama dia suka.
“Oke deh. Aku nggak mau mengganggu Kakak lama-lama, aku pergi dulu deh.” ucapnya sambil melangkah pergi. Syukurlah ni anak pengertian.
Ya.. dah sana cari lapak yang lain aku mau adem sendiri di sini. Rendi pergi sambil bersiul menunjukkan kegirangannya. Hmm.. Itu tuh kalau lagi musim semi, cinta bersemi, bahagia, ceria, dan bunga-bunga di mana-mana. Kayak iklan jadul gitu. Kalau lagi musim semi rasanya di mana aja menyenangkan semua terlihat sempurna dan melakukan apa aja rasanya menyenangkan hmm. Berhubung Rendi sudah pergi dengan bahagia giliran aku yang harus mengalami bahagia lagi nih. Sekarang aku kembali fokus untuk mendapatkan suasana indah yang tadi ku rasakan novel di tangan.
Headphone kembali terpasang manis di telinga. Angin mana anginnya? Aku menoleh ke kiri dan kanan, semua daun diam tak bergerak Hufts. Si angin lagi pergi ke tempat yang lain.. tapi.. wusss.. asyik angin kembali lagi. Aku kembali membaca novel di tanganku ditemani musik yang lembut. Tapi.. aduh, aku menoleh ke kakiku yang terasa sakit dan gatal. Seekor nyamuk nangkring di kakiku. Dengan sigap aku langsung menepuk kakiku, dan sukses tuh nyamuk lepas dari tepukanku. Aiss.. dan ternyata tuh nyamuk tidak sendirian teman-temannya ikut menyerangku. Arrrgh.. suasana indah tinggal mimpi. Hari mulai gelap dan sang nyamuk beserta teman-temannya mulai beraksi. Aku mendesah pelan lalu bangkit dari dudukku, meraih smartphone dari meja beserta cemilanku. Aku menyerah dan memutuskan masuk ke rumah dengan tangan yang penuh dan ku berjalan gontai masuk rumah.
Ku lihat jam di tanganku, jam 12 siang. Cuaca siang ini panas, perut juga terasa lapar. Tempat yang pas untuk mengatasi ini adalah kantin bukde. Aku melangkahkan kakiku ke kantin. Tapi ngomong-ngomong sahabatku Rain dan Dea lagi di mana ya. Aku masuk ke kantin yang suasananya kayak lagi di pasar. Suara-suara orang yang tertawa, ngobrol sampai yang teriak-teriak supaya pesanannya terdengar oleh bukde. Aku celingak-celinguk ada nggak ya tempat yang bisa menampungku. Nah tuh ada, sebuah kursi kosong. Aku lagi beruntung nih di tengah padatnya kantin ini masih ada satu bangku kosong. Aku melangkah ke kursi itu dan duduk, duduk di kursi kosong ini rasanya menyenangkan sekali seperti dapat rezeki nomplok. Lega akhirnya mendapat tempat duduk, meskipun di sekelilingku dipenuhi makhluk-makhluk ajaib. Pantes kosong.
“Hai.. Vay.” Jeko yang duduk di depanku menyapaku sambil tersenyum jahil.
“Hai.” balasku lalu memesan makanan kepada mbak pelayan bukde yang lagi lewat di meja kami.
“Mana Dea?” tanya Rio yang duduk di sebelahku.
“Nggak tahu nih, dari tadi belum ada ketemu.” ucapku pada Rio.
“Nggak ambil mata kuliah bareng?” tanya Jeko.
“Nggak.” jawabku, ku lirik Rio sepertinya sudah selesai dengan makanannya.
“Hai.” balasku lalu memesan makanan kepada mbak pelayan bukde yang lagi lewat di meja kami.
“Mana Dea?” tanya Rio yang duduk di sebelahku.
“Nggak tahu nih, dari tadi belum ada ketemu.” ucapku pada Rio.
“Nggak ambil mata kuliah bareng?” tanya Jeko.
“Nggak.” jawabku, ku lirik Rio sepertinya sudah selesai dengan makanannya.
“Vay, mau ikutan nggak entar.” ucap Jeko.
“Ke mana?” tanyaku mengalihkan perhatianku ke Jeko.
“Ada pameran di galeri anak seni lukis.” ucap Jeko.
“O ya.” ucapku mulai tertarik dengan ajakan Jeko. Ku rasakan Rio gerasak-gerusuk di sebelahku. Ngapain sih nih anak aku menoleh, dia seperti lagi nyari sesuatu.
“Cari apa?” tanyaku terganggu dengan kegiatan Rio.
“Ini tadi aku lagi megang pulpen tapi ke mana ya?” ucapnya sambil masih mencari-cari, aku ikutan mencari.
“Nah itu dia.” ucap Rio menunjuk ke bawah meja lalu langsung berjongkok ke bawah meja.
“Ke mana?” tanyaku mengalihkan perhatianku ke Jeko.
“Ada pameran di galeri anak seni lukis.” ucap Jeko.
“O ya.” ucapku mulai tertarik dengan ajakan Jeko. Ku rasakan Rio gerasak-gerusuk di sebelahku. Ngapain sih nih anak aku menoleh, dia seperti lagi nyari sesuatu.
“Cari apa?” tanyaku terganggu dengan kegiatan Rio.
“Ini tadi aku lagi megang pulpen tapi ke mana ya?” ucapnya sambil masih mencari-cari, aku ikutan mencari.
“Nah itu dia.” ucap Rio menunjuk ke bawah meja lalu langsung berjongkok ke bawah meja.
“Mau nggak?” ucap Jeko mengalihkan perhatianku dari Rio.
“Apa?” ucapku nggak ngeh dengan ajakan Jeko.
“Pameran anak seni lukis.” ucap Jeko.
“Boleh juga tuh.” ucapku, lalu pesanan makananku dan minumanku datang. Langsung aja ku santap.
“Laper Vay.” ucap Jeko menatapku geli.
“He-eh.” ucapku sambil memasukkan ke mulutku suap demi suap nasi goreng di hadapanku. Tangan Jeko bergerak menyendok nasi gorengku tapi bukan nasi tapi telurnya yang dia ambil. Aku menatapnya protes. Jeko tertawa lalu memakan telur gorengku. Aku cemberut.
“Apa?” ucapku nggak ngeh dengan ajakan Jeko.
“Pameran anak seni lukis.” ucap Jeko.
“Boleh juga tuh.” ucapku, lalu pesanan makananku dan minumanku datang. Langsung aja ku santap.
“Laper Vay.” ucap Jeko menatapku geli.
“He-eh.” ucapku sambil memasukkan ke mulutku suap demi suap nasi goreng di hadapanku. Tangan Jeko bergerak menyendok nasi gorengku tapi bukan nasi tapi telurnya yang dia ambil. Aku menatapnya protes. Jeko tertawa lalu memakan telur gorengku. Aku cemberut.
“Jeko.” ucapku, habislah telur mata sapiku Jeko senyum-senyum. Ah.. harus ikhlas. Kalau ketemu dengan mereka berdua ini hidup memang nggak aman. Rio kembali duduk di kursi di sebelahku. Dia memegang pulpen di tangannya, lalu meraih jus jerukku dan meminumnya sampai habis. Aku berhenti makan dan menatapnya lesu.
“Rio.” ucapku pelan tak bertenaga.
“Terima kasih ya Vay.” ucapnya sambil senyum polos. Huhuhu.. apa boleh buat.
“Bukde pesan 1 juice jeruk lagi.” ucapku pada bukde yang nggak jauh dari meja kami.
“Oke deh. Kami duluan ya.” ucap Jeko lalu berdiri, Rio juga. Syukur deh aku bisa makan dengan aman sekarang. Mereka berjalan pergi tapi kayaknya ada kelupaan. Apa ya. Ah. .biarin deh, aku lanjutin makanku dengan tenang. Tiba-tiba aku ingat, loh jadi nggak lihat pameran anak seni lukis. Kok aku ditinggalin sih. Aku mendesah pelan dan menyelesaikan makanku. Perut sudah kenyang. Hati jadi tenang saatnya pergi dari kantin. Kebetulan bukde lewat di dekatku.
“Rio.” ucapku pelan tak bertenaga.
“Terima kasih ya Vay.” ucapnya sambil senyum polos. Huhuhu.. apa boleh buat.
“Bukde pesan 1 juice jeruk lagi.” ucapku pada bukde yang nggak jauh dari meja kami.
“Oke deh. Kami duluan ya.” ucap Jeko lalu berdiri, Rio juga. Syukur deh aku bisa makan dengan aman sekarang. Mereka berjalan pergi tapi kayaknya ada kelupaan. Apa ya. Ah. .biarin deh, aku lanjutin makanku dengan tenang. Tiba-tiba aku ingat, loh jadi nggak lihat pameran anak seni lukis. Kok aku ditinggalin sih. Aku mendesah pelan dan menyelesaikan makanku. Perut sudah kenyang. Hati jadi tenang saatnya pergi dari kantin. Kebetulan bukde lewat di dekatku.
“Bukde nih.” ucapku sambil menyerahkan uang.
“Eh.. tadi udah dibayarin sama Jeko kok Vay.” ucap bukde, apa? Jadi ini makan siang gratis. Asyik, nah benarkan kalau ikhlas mendapat cobaan akibatnya mendapat berkah ya seperti ini. Aku bangkit dari dudukku dan mau melangkah pergi dari kantin tapi. Oh.. Aku hampir aja jatuh, kalau nggak ada yang langsung menahan badanku aku pasti sudah terjatuh. Kakiku.. ku lihat sepatu ketsku kedua tali sepatu kanan dan kiriku terikat sempurna. Aaarrrgh.. Riooooo awas kamu ini pasti ulahmu. Aku memperbaiki berdiriku dan mengucapkan terima kasih kepada yang membantuku.
“Eh.. tadi udah dibayarin sama Jeko kok Vay.” ucap bukde, apa? Jadi ini makan siang gratis. Asyik, nah benarkan kalau ikhlas mendapat cobaan akibatnya mendapat berkah ya seperti ini. Aku bangkit dari dudukku dan mau melangkah pergi dari kantin tapi. Oh.. Aku hampir aja jatuh, kalau nggak ada yang langsung menahan badanku aku pasti sudah terjatuh. Kakiku.. ku lihat sepatu ketsku kedua tali sepatu kanan dan kiriku terikat sempurna. Aaarrrgh.. Riooooo awas kamu ini pasti ulahmu. Aku memperbaiki berdiriku dan mengucapkan terima kasih kepada yang membantuku.
“Terima kasih.” ucapku pelan ketika melihat siapa yang membantuku, Fabian. Fabian tersenyum.
“Hati-hati kalau baru duduk bareng Jeko dan Rio.” ucapnya, dia rupanya tahu kalau tadi aku bareng Rio dan Jeko. Lalu Fabian berjongkok dekat kakiku dan melepaskan tali sepatuku yang terikat. Jantungku berdetak tak karuan. Fabian memperbaiki tali sepatuku, selesai memperbaiki tali sepatuku Fabian kembali berdiri.
“Hati-hati kalau baru duduk bareng Jeko dan Rio.” ucapnya, dia rupanya tahu kalau tadi aku bareng Rio dan Jeko. Lalu Fabian berjongkok dekat kakiku dan melepaskan tali sepatuku yang terikat. Jantungku berdetak tak karuan. Fabian memperbaiki tali sepatuku, selesai memperbaiki tali sepatuku Fabian kembali berdiri.
“Oke sudah selesai.” ucapnya, lalu kembali tersenyum padaku.
“Terima kasih Fabian.” ucapku sambil senyum.
“Aku pergi dulu ya.” ucapku tak ingin berlama dekat Fabian, karena aku tidak bisa mengendalikan jantungku kalau sudah ada di dekatnya. Lalu melangkah cepat sebelum mendengar jawaban Fabian.
“Terima kasih Fabian.” ucapku sambil senyum.
“Aku pergi dulu ya.” ucapku tak ingin berlama dekat Fabian, karena aku tidak bisa mengendalikan jantungku kalau sudah ada di dekatnya. Lalu melangkah cepat sebelum mendengar jawaban Fabian.
“Ya Vay.” suara Fabian agak keras. Sehingga terdengar olehku yang sudah keburu pergi dari sisinya. Sepertinya dia tahu kalau aku akan langsung melangkah ketika permisi tanpa memperhatikan responnya, jadi dia menjawab dengan keras. Huh malu aku. Fabian cowok baik yang akhir-akhir ini mengisi hati dan otakku. Dia selalu ramah padaku tapi aku yang keburu deg-deg-an kalau dekat dia jadi aku selalu aja menghindar berlama-lama dekat dia. Aku berjalan di koridor kampus sambil menyesali sikapku bila ketemu Fabian.
“Hehe.. asyik.” suara itu. Aku berhenti melangkah dan menoleh ke sampingku. Rio dan Jeko duduk di bangku depan ruang kuliah sambil melihatku. Aku langsung teringat apa yang baru ku alami.
“Hehe.. asyik.” suara itu. Aku berhenti melangkah dan menoleh ke sampingku. Rio dan Jeko duduk di bangku depan ruang kuliah sambil melihatku. Aku langsung teringat apa yang baru ku alami.
“Kalian.” ucapku kesal.
“Asyik dipeluk Fabian.” ucap Jeko, hah.. aku kaget. Apa mereka tadi lihat sewaktu Fabian menolongku.
“Eh.. jangan gitu dong Jek, nggak enak didengar orang. Aku nggak dipeluk Fabian, dia cuma menahan badanku supaya jangan jatuh.” ucapku pelan sambil lihat kiri dan kanan. Untung nggak ada orang, Rio tertawa.
“Ah.. sama aja.” ucap Jeko.
“Ish. Jeko please jangan bilang gitu dong entar jadi gosip lo.” ucapku memohon.
“Emang kenapa, aku senang kalau kamu digosipin sama Fabian.” ucap Jeko cuek.
“Jeko.” ucapku, Jeko bangkit dari duduknya diikuti Rio lalu mereka berjalan.
“Asyik dipeluk Fabian.” ucap Jeko, hah.. aku kaget. Apa mereka tadi lihat sewaktu Fabian menolongku.
“Eh.. jangan gitu dong Jek, nggak enak didengar orang. Aku nggak dipeluk Fabian, dia cuma menahan badanku supaya jangan jatuh.” ucapku pelan sambil lihat kiri dan kanan. Untung nggak ada orang, Rio tertawa.
“Ah.. sama aja.” ucap Jeko.
“Ish. Jeko please jangan bilang gitu dong entar jadi gosip lo.” ucapku memohon.
“Emang kenapa, aku senang kalau kamu digosipin sama Fabian.” ucap Jeko cuek.
“Jeko.” ucapku, Jeko bangkit dari duduknya diikuti Rio lalu mereka berjalan.
“Jeko.. Rio.” ucapku mengikuti mereka.
“Iya.. takut amat sih.. jangan-jangan lo suka ya sama dia.” ucap Jeko jahil, aku diam.
“Dah nggak usah khawatir.. sebagai permintaan maaf sudah jahilin kamu aku akan umumin kamu pacaran dengan Fabian.” ucap Rio. Hah.. aku berhenti berjalan.
“Riioooo.” ucapku kalap. Rio dan Jeko tertawa lalu pergi, percuma ngomong dengan mereka. Aku berjalan pelan, hari ini benar-benar harus ikhlas menjalaninya. Tapi gimana pameran anak seni lukisnya? Apa mereka juga ngerjain aku. Aku ditinggal lagi. Ah itu nggak terlalu penting, gimana kalau Rio benar-benar umumin aku pacaran dengan Fabian, kedua cowok itu nggak bisa diprediksi kelakuannya. Aku kan semakin nggak enak dengan Fabian. Huhu.
“Iya.. takut amat sih.. jangan-jangan lo suka ya sama dia.” ucap Jeko jahil, aku diam.
“Dah nggak usah khawatir.. sebagai permintaan maaf sudah jahilin kamu aku akan umumin kamu pacaran dengan Fabian.” ucap Rio. Hah.. aku berhenti berjalan.
“Riioooo.” ucapku kalap. Rio dan Jeko tertawa lalu pergi, percuma ngomong dengan mereka. Aku berjalan pelan, hari ini benar-benar harus ikhlas menjalaninya. Tapi gimana pameran anak seni lukisnya? Apa mereka juga ngerjain aku. Aku ditinggal lagi. Ah itu nggak terlalu penting, gimana kalau Rio benar-benar umumin aku pacaran dengan Fabian, kedua cowok itu nggak bisa diprediksi kelakuannya. Aku kan semakin nggak enak dengan Fabian. Huhu.
“Vay.. Vay.” Dea sudah ada di dekatku, dan menjejeri langkahku.
“Eh.. De.” ucapku pelan, sambil tetap jalan dan memikirkan apa yang hari ini ku alami.
“Aku manggil kamu dari tadi kamu malah tetap jalan nggak menoleh sama sekali Vay.” ucap Dea, aku cuma mengangguk nggak nyambung sebenarnya dengan perkataan Dea.
“Kenapa kamu kok lesu gitu Vay?” ucap Dea.
“Nggak apa-apa De.” ucapku sambil menoleh ke Dea.
“Yuk duduk di sana.” ucap Dea menunjuk bangku di bawah pohon. Lalu kami duduk di bangku di bawah pohon. Cuaca tak sepanas tadi.
“Eh.. De.” ucapku pelan, sambil tetap jalan dan memikirkan apa yang hari ini ku alami.
“Aku manggil kamu dari tadi kamu malah tetap jalan nggak menoleh sama sekali Vay.” ucap Dea, aku cuma mengangguk nggak nyambung sebenarnya dengan perkataan Dea.
“Kenapa kamu kok lesu gitu Vay?” ucap Dea.
“Nggak apa-apa De.” ucapku sambil menoleh ke Dea.
“Yuk duduk di sana.” ucap Dea menunjuk bangku di bawah pohon. Lalu kami duduk di bangku di bawah pohon. Cuaca tak sepanas tadi.
“Vay.. aku udah putus dengan Gandi.” ucap Dea, apa? Aku langsung sadar dari menyesali diri dan melihat ke arah Dea.
“Aku cape Vay, lebih baik kami jalan sendiri-sendiri aja.” ucap Dea sambil tersenyum kecil, kelihatan Dea menyembunyikan kesedihannya.
“Apa kamu sudah tenang sekarang?” tanyaku, Dea senyum.
“Iya.” ucapnya.
“Aku cape Vay, lebih baik kami jalan sendiri-sendiri aja.” ucap Dea sambil tersenyum kecil, kelihatan Dea menyembunyikan kesedihannya.
“Apa kamu sudah tenang sekarang?” tanyaku, Dea senyum.
“Iya.” ucapnya.
Dea bohong pasti dia justru semakin kacau. Dea sangat mencintai Gandi. Dea diam, aku pun tak bicara lagi. Inikah musim gugur di kisah cinta Dea, apakah pepohonan di hati Dea benar-benar berubah warna atau bahkan sudah tidak berdaun lagi. Mungkin warna musim gugur terlihat indah. Kuning, merah, orange, menjingga. Tapi setelah itu angin musim dingin akan membekukan hatinya. Yah.. memang setelah musim dingin akan ada musim semi. Tapi menjalani musim gugur yang kan segera beralih ke musim dingin akan membuat Dea kesepian dan beku. Tapi harapan akan selalu ada untuk hatinya karena setelah musim dingin akan ada musim semi yang indah. Semoga musim semimu akan segera tiba De. Saat musim gugur begini baiknya duduk merenung, menatap langit sambil menikmati warna-warna musim gugur di sore hari ditemani teh hangat. Hmm.. Belajar banyak dari semua hal yang sudah dilalui.
“Vay.. Dea.” sebuah suara memecahkan keheningan yang tercipta sejenak di antara aku dan Dea. Aku menoleh ku lihat Rain berjalan ke arah kami bersama bang Bintang. Apa? bang Bintang? Aku mengucek mataku beneran bang Bintang nih? Aku melongo wajah Rain tidak mendung lagi wajahnya ceria begitu juga bang Bintang di sampingnya. Apakah musim semi di kisah cinta Rain sudah tiba? Aku tersenyum. Great.
“Hei.. kok gitu ngelihatnya?” ucap Rain, aku senyum dan menoleh pada bang Bintang.
“Halo Bang Bintang.” ucapku sambil melambai, disambut dengan lambaian bang Bintang yang juga tersenyum. Aku melirik Rain, sepertinya dia mengerti akan lirikanku. Dia tersipu malu lalu mengalihkan perhatian ke Dea.
“Hai De.. kok diam aja?” ucap Rain, Dea mencoba tersenyum meski ku tahu hatinya sakit.
“Halo Bang Bintang.” ucapku sambil melambai, disambut dengan lambaian bang Bintang yang juga tersenyum. Aku melirik Rain, sepertinya dia mengerti akan lirikanku. Dia tersipu malu lalu mengalihkan perhatian ke Dea.
“Hai De.. kok diam aja?” ucap Rain, Dea mencoba tersenyum meski ku tahu hatinya sakit.
Kemudian kami duduk bersama di bangku di bawah pohon sambil mengobrol. Angin berhembus, beberapa daun pohon gugur menemani obrolan kami. Kami mengobrol sambil tertawa, hari ini bang Bintang cuti. Bang Bintang yang selalu gila kerja ambil cuti? Hebat.. mereka sudah bisa mengatasi masalah mereka. Dea juga berpikir sudah menyelesaikan masalah dengan Gandi dengan cara memutuskan Gandi, benarkah itu solusinya. Setelah ini aku pasti dapat penjelasan dari kedua sahabatku ini tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kisah cinta mereka.
Saat ini aku akan menikmati obrolan bersama meraka dalam suasana yang hangat. Tapi.. bagaimana denganku? Musim apakah yang sekarang ku jalani? Apakah ada musim kelima. Musim galau. Aku pikir aku ini lagi mengalami musim galau. Boleh nggak ya ditambahi jadi 5 musim, musim panas, musim gugur, musim dingin, musim semi, dan musim galau. Huaaah.. ngarang banget. Okelah.. sampai disini dulu cerita musim cinta ini. Saatnya aku merenung sendiri.. untuk memikirkan kondisi cintaku yang nggak jelas ini. Entar kalau sudah jelas aku akan menceritakannya kembali. Sampai jumpa lagi.
No comments:
Post a Comment