BUDAYA POLITIK INDONESIA
A. Masalah budaya politik Indonesia merupakan sebuah topic yang menarik.Hal itu terjadi karena beberapa hal,yaitu :
1. Penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik Indonesia kurang representatife bila dibandingkan dengan penjelasan yang bersifat lain.
2. Dalam dekade 80-an kalangan ilmuwan politik sudah mulai dihadapkan pada penjelasan yang bersifat alternatife ,yang dianggap lebih repreentatif dengan tingkat generalisasi yang tinggi.
3. Perdebatak tentang model,penjelasan yang lebih baik tentang budaya politik Indonesia,apakah penjelasan dengan model kultural atau structural
B.Budaya Politik Makna dan Perwujudannya
1.Budaya Politik
Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II,sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat.Di Amerika Serikat apa yang disebut dengan revolusi dalam ilmu politik,yang dikenal sebagai Behavioral Revolution,atau ada juga yang menamakan dengan Behavioralism.Ternyadinya tersebut dalam ilmu politik sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme.
Salah satu dampak yang sangat mencolok dari behavioral revolution adalah munculnya sejumlah teori ,baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah(middle level theory).Kemudian ilmu politik diperkaya dengan beberapa istilah misalnya system analysis,interest aggregation,interest articulation,political socialization,rule adjudication,dan lain sebagainya.Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik.Teori tentang sistem politik diajukan oleh David Easton,yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond.
Budaya politik kata Almond dan Verba merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya,juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik(1963,h 13).Budaya politik tidak lain dari daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial dan proses internalisasi dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive,affective dan evaluative.Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya seperti ibukota negara,lambang,kepala negara dll.Dengan sikap dan orientasi seperti itu,kemudian berbentuklah budaya politik yang berbeda.Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial.Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjektif.Akhirnya masyarakat yang memilih kompetensi politik yang tinggi ,dimana warga masyarakat mampu memberikan evakuasi terhadap proses politik yang berjalan,akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.
Budaya politik partisipatif akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.Budaya politik yan demokratik ini menyangkut”suatu kumpulan sistem keyakinan,sikap,norma,persepsi dan sejenisnya,yang menopang terwujudnya partisispasi,”kata Almond dan Verba (h.178).Kompetensi merupakan kata kunci,artinya warga negara mempunyai keyakinan bahwa mereka memiliki kompetensi untuk terlibat dalam proses politik yang berjalan.Konsekuensi selanjutnya adalah kalangan pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang memperhatiakn kepentingan warga masyarakat kalau tidak warga masyarakat akan mengalami deprivasi sehingga mereka menjadi kecewa dan akan meninggalkan pemerintah.
2. Sosialisasi Politik sebagai Wahana Pembentukan Budaya Politik
Proses pembentukan budaya politik dilakukan melaui apa yang disebut sebagai sosialisasi politik.Yaitu,proses penerusan atau pewarisan nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya.Sistem nilai,norma dan keyakinan yang dimiliki oleh sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui berbagai media, seperti :keluarga,sanak-saudara,kelompok bermain,sekolah (TK-PT).Kemudian setelah selesai pendidikan diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain seperti:Koran,majalah,radio,televisi.Apa yang dikemukakan tersebut merupakan agent dari sosialisasi politik.
Keluarga merupakan agent pertama yang bsangat menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu.Didalam keluarga ditanamkan bagaimana menghargai otoritas ayah dan ibu serta orang yang lebih tua,ditanamkan pula nilai-nilai atau keyakinan politik dari kedua orang tua,secara langsung atau tidak.Dalam keluarga yang berasal dari lingkungan islam santri tentu saja ditanamkan nilai-nilai keislaman yang sangat tinggi dengan segala atribut yang melekat didalamnya.Diluar rumah anak juga akan bergaul dengan teman-teman yang ada disekitar rumahnya.Ketika waktu masuk sekolah disadari atau tidak anak pun belajar tentang nilai-nilai,norma dan atribut politik negaranya.Proses kognisi politik dimulai terbentuk sejak anak menjadi murid Taman Kanak-kanak.Dengan bertambahnya usia dan pengalaman semakin bertambah pula sosialisasi politik yang lebih luas.Disekitarnya terhampar sejumlah sumber pengetahuan yang lain selain sekolah seperti media massa.Dilingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat anak memperoleh nilai politik.Dalam sebuah sistem dimana negara memainkan peranan yang sangat dominan,bahkan monopolitis,dalam pembentukan nilai dan norma politik,maka keyakinan dan nilai yang ditanamkan adalah keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa negara agar terbentuk sebuah masyarakat yang mandiri dan yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi bagi pembentukan budaya politik yang demikratik dan stabil.
• Budaya politik Indonesia
• Hierarki yang tegar
Satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan bagaimana budaya politik Indonesia adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula yaitu kelompok etnis Jawa.Etnis ini sangat mewarnai sikap,perilaku dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia.Claire Holt dalam bukunya yaitu”Political Culture in Indonesia”,pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.Menurutnya konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat barat.Karena bagi masyarakat Jawa kekuasaan itu bersifat konkret,besarannya konstan,sumbernya homogen,dan tidak berkaitan denagn persoalan legitimasi.Sedangkan kekuasaan dalam masyarakat barat bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber,seperti uang,harta kekayaan fisik,kedudukan,asal-usul dll.
Masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat lain di Indonesia,pada dasarnya bersifat hierarkis.Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistic,tetapi lebih kepada akses kekuasan.Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan,yang juga disebut sebagai kalangan priyayi,dan rakyat kebanyakan.Pemilahan antara penguasa dan rakyat menjadi tegas,yang kemudian diungkapkan dengan istilah wong gedhe dan wong cilik.Implikasi dari pemilahan seperti ini adalah kalangan birokrat seringkali menampakan diri dengan self image atau citra diri yang bersifat benevolent,yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat.Akan tetapi sebaliknya penguasa memiliki persepsi merendahkan rakyat.Ada implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kebijaksanaan publik.Kebijaksanaan publikmerupakan domain atau kompetensi sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta atau ibukota provinsi.Yang membentuk semua agenda publik juga memformulasikan kebijaksanaan public adalah kalangan pemerintah,baru kemudian disesuaikan dan disahkan oleh DPR.Rakyat mengalami alienasi,bahkan tersisihkan dari proses politik.Akan tetapi ketika kebijaksanaan public itu sampai pada implementasi kebijakan,rakyat diwajibkan untuk ikut terlibat didalamnya.Sementara itu kita semua mengetahui bahwa kebijaksanaan tersebut membebani rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa yang mampu memperoleh akses terhadap kalangan penguasa.
2.Kecenderungan Patronage
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patrionage,baik dikalangan penguasa maupun masyarakat,yang didasarkan patrionage.Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual yaitu si Patron dan Client terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukar sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak.Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan sedangkan Client memiliki sumber daya berupa tenaga,dukungan dan loyalitas.Yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa yang paling banyak menikmayi hasil adalah patron.Sebab dialah yang memilik sumber daya yang lebih besar dan lebih kuat ketimbang client.Dalam hubungan seperti ini ada juga yang disebut dengan orang ketiga yang disebut brooker atau middleman.
Kecenderungan patronage ini dapat ditemukan secara meluas,baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat.Presiden bisa menjadi patron bagi beberapa orang menteri.Dalam masa pemerintahan orde baru,kita mengenal pola hubungan clientilistic seperti ini.Dikalangan partai politik juga ditemukan gejala yang sama.Seorang yang menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Golongan Karya,dapat menjadi patron bagi sejumlah politisi,kemudian menjadi pengurus Golkar,dan akhirnya menjadi anggota DPRD Tingkat I.Demikian juga antara penguasa dan masyarakat pengusaha.Kalangan pengusaha,terutama mereka yang non pribumi,tahu betul bagaimana meladeni kalangan pejabat pemerintah.Gejala pola hubungan seperti ini bukan merupakan sesuatu yang baru di Indonesia,karena hal itu sebenarnya sudah dikembangkan sejak zaman colonial.Munculnya sejumlah keluarga priyayi dari kalangan Kraton Yogyakarta,sejumlah bupati dari Rembang dan Madiun,merupakan hasil dari pola clientilistic tersebut.
Dari gambaran diatas sbenarnya kita dapat mengamati bahwa perilaku kalangan birokrat pada masa sekarang ini merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka pada masa colonial.
3.Kecenderungan Neo-Patrimonialistik
Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistk.Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik,karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik,seperti birokrasi.Tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik.
Dalam negara yang patrimonialistik.penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada dibawah control langsung pimpinan negara,yang mempersepsikan segala sesuatunya mempribadi.Dinyatakan pula oleh Weber bahwa negara patrimonialistik juga memiliki sejumlah karakteristik yang menyolok,misalnya :
1. Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang pengusaha kepada teman-temannya
2. Kebijaksanaan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistic.
3. Rule of the law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang pengusaha(rule of man)
4. Kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang menyangkut kepentingan umum dan mana yang menyangkut kepentingan public
Karakteristik negara patrimonialistik yang digambarkan Max Weber diatas dapat kita temukan dalam rezim orde baru.Contohnya Gubernur Jawa Tengah Soewardi yang membangun rumah dinas yang sangat besar dan mewah dengan biaya sekitar Rp,7,5 milyar.Sekalipun mendapat kritik dan tantangan dari lapisan masyarakat Soewardi sama sekali tidak peduli.Selain itu banyak anak-anak pejabat menjadi pengusaha besar karena memanfaatkan jabatan orang tua mereka.Gejala terakir yang menarik un tuk dicatat dalam rangka neo-patrimonialisme ini adalah munculnya anak-anak pejabat dalam politik.Implikasi dari semua karakteristik budaya politik seperti yang digambarkan diatas adalah kekuasaan menjadi tidak terkontrol.
D.Sosialisasi Politik :Tidak Memunculkan Civil Society
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat yang dilakukan oleh berbagai macam agent mulai dari keluarga sampai kejenjang yang lebih tinggi lagi.Tetapi proses sosialisasi atau pendidikan politik di Indinesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan civil society.Ada dua alasan utama mengapa pendidikan politik di Indonesia tidak memberi peluang cukup untuk memunculkan civil society :
1. Dalam masyarakat kita anak-anak ntidak dididik untuk menjadi insan yang mandiri.Anak-anak bahkan mengalami aliensasi dalam politik keluarga.Sejumlah keputusan banyak yang tidak melibatkan mereka
2. Tingkat politisasi sebagian besar masyarakat kita sangat rendah.Kalangan keluarga miskin tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi karena mereka lebih terpaku pada kehidupan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politikOleh karena itu wacana tentang kebijaksanaan pemerintah menyangkut masalah-masalah penting bagi masyarakat menjadi tidak penting bagi mereka
3. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak negara,termasuk dalam hal pendidikan politik.
BAB IV
POLITIK INDONESIA 1990-AN:
REJUVENASI ALIRAN?
A.Agama harus dilhat dari dua dimensi,yaitu :
1. Agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang,baik secara individual maupun kelompok
2.Agama sebagai sebuah fenomena sosial
Lalu,bagaimana dengan Indonesia?Ketika memasuki tahun 199-an,banyak kalangan yang mengkhawatirkan munculnya politik aliran.Mengapa demikian?Jawabannya sederhana saja,bahwa konteks politik tahun 1990-an sama sekali berbeda dengan politik pasca kemerdekaan.Kehadiran islam dan politik Indonesia kontemporer tak ada kaitannya dengan politik aliran,tetapi merupakan konsekuensi dari proses politik Indonesia.
B.POLITIK ALIRAN :PENGALAMAN MASA LAMPAU
Clifford Geerrtz adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah politik aliran.Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial politik di Indonesia,dimana partai politik pada masa pasca kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations dalam rangka memenangkan Pemilu 1955.Dalam kehidupan kepartaian aliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa.
Partai politik memiliki media tersendiri terutama surat kabar dan majalah,dalam rangka ,membentuk opini public guna memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya dalam menghadapi Pemilu 1955.
Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada masa pasca kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan.Clifford Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto kemudian dikenal dengan model,Santri,Abangan dan Priyayi.Partai-partai politik pada massa kemerdekaan memiliki basis yang dimobilisasi lewat pembentukan organisasi pendukung yang meliputi semua sektor misalnya : Partai Komunis Indonesia dengan Pemuda Rakyat,Gerwani,CGMI,IPPI dll,Partai Nasional Indonesia dengan Pemuda Marhaen,Wanita Marhaen dll,Partai Nahdatul Ulama dengan organisasi Pemuda Anshor dll.
Proses mobilisasi tidak hanya sampai disitu Setiap partai politik memiliki media cetak tersendiri.PKI dengan Harian Rakyat,PNI dengan Suluh Indonesia,NU dengan Duta Masyarakat dll.
Perlu pula ditambahkan bahwa partai politik pada masa pasca kemerdekaan juga mendirikan lembaga pendidikan.Proses pemilahan sosial di Indonesia mengalami konsolidas,karena oemilahan tersebut menjadi meningkat.
Apa implikasinya terhadap perpolitikan di Indonesia?Pemilihan Umum 1955 diikuti oleh hampir empat puluh partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum yang setingkat dengan partai politik memperlihatkan dari pemilahan seperti itu.Tidak ada satu partai politik yang memperoleh suara mayoritas.
Implikasi yang lain dari pemilahan sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah munculnya konflik.Dan kalau sudah sam[pai seperti itu persoalan yang paling rumit adalah mengelola konflik tersebut.Biasanya penyelenggara negara akan dihadapkan pada pilihan yang sulit yakni pilihan untuk memelihara stabilitas politik.atau melaksanakan demikrasi dengan segala konsekuensinya.Plihan yang ditempuh pada masa kemerdekaan adalah demokrasi.Tetapi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
C.ORDE BARU:DE-ALIRANISASI DAN IMPLIKASINYA
Format politik orde baru memperlihatkan kenyataan yang sangat menarik,yaitu terjadinya proses de-aliranisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan ditopang ABRI.Proses de-aliranisasi tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara,misalnya :
1. Dengan melakukan depolitisasi massa secara sistematik.Depolitisasi tersebut dilakukan melalui sejumlah langkah kebijaksanaan misalnya prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri.
2. Dengan melakukan floating mass atau massa mengambang.Artinya individu-individu tidak memiliki ikatan tertentu dengan partai politik,kecuali pada saat Pemilihan Umum.
Kebijaksanaan depolitisasi massa memang diarahkan untuk memotong jalur hubungan antara partai-partai politik khususnya partai politik non pemerintah dengan individu.Dalam politik orde baru kita ketahui bahwa sejak 1968 sampai pertengahan 1980-an,pemerintahan Presiden Soeharto memelihara koalisi yang sangat baik antara kekuatan kalangan abangan,kecuali kalangan Soekarnois,dan kalangan Kristen/Katolik.Sementara itu islam berada dalam posisi pinggiran bahkan menjadi kekuatan diluar sistem.
Pada permulaan orde baru sampai pertengahan 1980-an,wajah islam menjadi babak belur dan digambarkan sebagai Ekstrem Kanan yang selalu siap membentk negara islam dan menggantikan pancasila dengan islam sebagai ideologi atau dasar negara.Untuk melemahkan kekuatan politik islam yang mulai tampak,pemerintah mencari jalan untuk mendiskreditkan islam.Isu Komando Jihad dan segala macam yang bertalian dengan itu dimunculkan.
Sementara itu,sarana umat islam untuk mengartikulasi atau bahkan untuk membela diri,boleh dikatakan sangat terbatas.Tidak ada media massa islam yang representative untuk menyampaikan aspirasi dan ide politik islam.
Kompas merupakan salah satu media yang mampu menjadikan seseorang menjadi orang lewat penokohan yang dilakukan surat kabar.Bagaimana orang islam berartikulasi dalam keadaan dimana partai politik memainkan peranan yang sangat terbatas,media massa sangat lemah dan kebebasan untuk berartikulasi mjuga sangat terbatas?Ada beberapa pilihan untuk dilakukan,yaitu :
1. Melakukan akomodasi dengan sistem kekuasaan yang ada seperti yang banyak dilakaukan oleh kalangan alumni HMI.
2. Memilih tetap bergabung dengan partai yang dianggap mempresentasikan islan,seperti PPP
3. Menjaga jarak sama sekali dengan sistem kekuasaan yang berlaku,bahka dengan mengambil sikap kritis
4. Memilihy sikap konfrontatif dengan pihak kekuasaan,seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok sempalan
Dalam situasi dimana umat islan Indonesia mempersepsikan dirinya sebagai warga mayoritas dalam negaranya tetapi memainkan peranan yang marginal dalam pembentukan kebijaksanaan public,maka tidak jarang kebijaksanaan tersbut dipersepsikan sebagai menyudutkan islam.Tidak heran kemudian jika kita menemukan kenyataan bahwa antara islam dan negara yang cenderung sangat keras,bahwkan antagonistik.
D.REJUVENASI ALIRAN ATAU POLITIK KESEIMBANGAN?
Ketika asas tunggal pancasila merupakan sebuah consensus bersama,sekalipun pada waktu itu menimbulkan kontroversi dengan sebagian kalangan islam.Sejumlah langkah kebijaksanaan pemerintah dipersepsikan sebagai langkah kebijaksanaan yang tidak lagi negative bagi umat islam.Bersamaan dengan itu jargon-jargon yang menyudutkan islam sebagai ekstrem kanan,misalmya sudah mulai berkurang pula agungnya.
Kehadiran ICMI oleh banyak kalangan baik islma maupun non islam dibaca sebagai titik puncak munculnya kembali politik aliran Indonesia.Bahkan hal itu direpersepsikan sebagai usaha untuk mendirikan negara islam.Organisasi semacam itu membawa citra primordialis dan sectarian.
Namun demikian harus diakui bahwa dengan timbulnya oleh hubungan yang saling mengakomodasi itu islma memiliki akses terhadap kekuasaan.Kalangan islam mempunyai peluang untuk menetralisasi sikap-sikap yang tejadi sebelumnya yang cenderung memojokan islam.Islam masih jauh dalam memainkan peranan yang menentukan dalam pembentukan kebijaksanaan public.Mengapa demikian?Alasanya adalah :
1. Presiden Soeharto masih memainkan peranan yang sangat menentukan dalam proses pembentuka kebijak sanaan politik di Indonesia
2. Konteks politik 1990-an berbeda denga konteks politik 1970-an dimana pada saat itu politik yang didominasi oleh pola interaksi kalangan elite,mekanisme politik pun tidak terbuka
Sementara politik tahun 1990-an sudah lebih terbuka dan transparan,sehingga setiap ada kebijaksaan publik yang snsitif akan mendapat reaksi yang sangat tajam dari kalangan publik.
Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan munculnya kembali politik aliran di Indonesia.Apalagi kalau dikaitkan dengan kehadiran ABRI sebagi sebuah kekuatan politik yang menjadi penyeimbang di antara semua kekuatan polirtik di Indonesia.Kedudukan politik ABRI sangatlah strategis,sehingga hampit tidak masuk akal untuk saat ini kalau ada kekuatan politik yang mempunyai aspirasi disintegratife.
Komentar terhadap buku BAB 3
Uraian yang dikemukakan bab 3 memberikan gambaran yang cukup jelas dan pesimistis tentang bagaimana itu budaya politik Indonesia.Dengan budaya politik yang diwarnai dengan pola hubungan yang sangat hierarkis,kecenderungan patronage politik yang kuat,serta gejala non-patrimonalisme ,Pada bab ini dijelaskan bagaimana munculnya proses demokratisasi yang sulit untuk meluas.
Bab ini menggambarkan bagaimana proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga begitu penting namun pada kenyataan nya peranan keluarga dalam proses sosialisasi politik belum memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan sebuah civil society.
Komentar terhadap buku BAB 4
Dalam bab ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana kekhawatiran dan rejuvensinya politik aliran sama sekali tidak beralasan.Kehadiran politik islam merupakan konsekuensi dari perubahan konfigurasi politik nasional dimana pemerintah khususnya presiden soeharto menganggap perlunya akomodasi islam.
Dalam bab ini pula digambarkan bagaimana perjalanan atau sejarah politik Indonesia pada tahun 1990 han.untuk itu kita diberikan pemahaman terlebih dahulu bagaimana aliran aliran politik pada masa lampau tersebut sebelum kita menginjak bagaimana politik aliran pada masa orde baru.
A. Masalah budaya politik Indonesia merupakan sebuah topic yang menarik.Hal itu terjadi karena beberapa hal,yaitu :
1. Penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik Indonesia kurang representatife bila dibandingkan dengan penjelasan yang bersifat lain.
2. Dalam dekade 80-an kalangan ilmuwan politik sudah mulai dihadapkan pada penjelasan yang bersifat alternatife ,yang dianggap lebih repreentatif dengan tingkat generalisasi yang tinggi.
3. Perdebatak tentang model,penjelasan yang lebih baik tentang budaya politik Indonesia,apakah penjelasan dengan model kultural atau structural
B.Budaya Politik Makna dan Perwujudannya
1.Budaya Politik
Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II,sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat.Di Amerika Serikat apa yang disebut dengan revolusi dalam ilmu politik,yang dikenal sebagai Behavioral Revolution,atau ada juga yang menamakan dengan Behavioralism.Ternyadinya tersebut dalam ilmu politik sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme.
Salah satu dampak yang sangat mencolok dari behavioral revolution adalah munculnya sejumlah teori ,baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah(middle level theory).Kemudian ilmu politik diperkaya dengan beberapa istilah misalnya system analysis,interest aggregation,interest articulation,political socialization,rule adjudication,dan lain sebagainya.Teori tentang budaya politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik.Teori tentang sistem politik diajukan oleh David Easton,yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond.
Budaya politik kata Almond dan Verba merupakan sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya,juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik(1963,h 13).Budaya politik tidak lain dari daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial dan proses internalisasi dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive,affective dan evaluative.Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya seperti ibukota negara,lambang,kepala negara dll.Dengan sikap dan orientasi seperti itu,kemudian berbentuklah budaya politik yang berbeda.Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif akan terbentuk budaya politik yang parokial.Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjektif.Akhirnya masyarakat yang memilih kompetensi politik yang tinggi ,dimana warga masyarakat mampu memberikan evakuasi terhadap proses politik yang berjalan,akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.
Budaya politik partisipatif akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.Budaya politik yan demokratik ini menyangkut”suatu kumpulan sistem keyakinan,sikap,norma,persepsi dan sejenisnya,yang menopang terwujudnya partisispasi,”kata Almond dan Verba (h.178).Kompetensi merupakan kata kunci,artinya warga negara mempunyai keyakinan bahwa mereka memiliki kompetensi untuk terlibat dalam proses politik yang berjalan.Konsekuensi selanjutnya adalah kalangan pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang memperhatiakn kepentingan warga masyarakat kalau tidak warga masyarakat akan mengalami deprivasi sehingga mereka menjadi kecewa dan akan meninggalkan pemerintah.
2. Sosialisasi Politik sebagai Wahana Pembentukan Budaya Politik
Proses pembentukan budaya politik dilakukan melaui apa yang disebut sebagai sosialisasi politik.Yaitu,proses penerusan atau pewarisan nilai dari suatu generasi ke generasi berikutnya.Sistem nilai,norma dan keyakinan yang dimiliki oleh sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui berbagai media, seperti :keluarga,sanak-saudara,kelompok bermain,sekolah (TK-PT).Kemudian setelah selesai pendidikan diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain seperti:Koran,majalah,radio,televisi.Apa yang dikemukakan tersebut merupakan agent dari sosialisasi politik.
Keluarga merupakan agent pertama yang bsangat menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu.Didalam keluarga ditanamkan bagaimana menghargai otoritas ayah dan ibu serta orang yang lebih tua,ditanamkan pula nilai-nilai atau keyakinan politik dari kedua orang tua,secara langsung atau tidak.Dalam keluarga yang berasal dari lingkungan islam santri tentu saja ditanamkan nilai-nilai keislaman yang sangat tinggi dengan segala atribut yang melekat didalamnya.Diluar rumah anak juga akan bergaul dengan teman-teman yang ada disekitar rumahnya.Ketika waktu masuk sekolah disadari atau tidak anak pun belajar tentang nilai-nilai,norma dan atribut politik negaranya.Proses kognisi politik dimulai terbentuk sejak anak menjadi murid Taman Kanak-kanak.Dengan bertambahnya usia dan pengalaman semakin bertambah pula sosialisasi politik yang lebih luas.Disekitarnya terhampar sejumlah sumber pengetahuan yang lain selain sekolah seperti media massa.Dilingkungan keluarga,sekolah dan masyarakat anak memperoleh nilai politik.Dalam sebuah sistem dimana negara memainkan peranan yang sangat dominan,bahkan monopolitis,dalam pembentukan nilai dan norma politik,maka keyakinan dan nilai yang ditanamkan adalah keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa negara agar terbentuk sebuah masyarakat yang mandiri dan yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi bagi pembentukan budaya politik yang demikratik dan stabil.
• Budaya politik Indonesia
• Hierarki yang tegar
Satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik tolak untuk membicarakan bagaimana budaya politik Indonesia adalah adanya sebuah pola budaya yang dominan yang berasal dari kelompok etnis yang dominan pula yaitu kelompok etnis Jawa.Etnis ini sangat mewarnai sikap,perilaku dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia.Claire Holt dalam bukunya yaitu”Political Culture in Indonesia”,pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa.Menurutnya konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat barat.Karena bagi masyarakat Jawa kekuasaan itu bersifat konkret,besarannya konstan,sumbernya homogen,dan tidak berkaitan denagn persoalan legitimasi.Sedangkan kekuasaan dalam masyarakat barat bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber,seperti uang,harta kekayaan fisik,kedudukan,asal-usul dll.
Masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat lain di Indonesia,pada dasarnya bersifat hierarkis.Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistic,tetapi lebih kepada akses kekuasan.Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan,yang juga disebut sebagai kalangan priyayi,dan rakyat kebanyakan.Pemilahan antara penguasa dan rakyat menjadi tegas,yang kemudian diungkapkan dengan istilah wong gedhe dan wong cilik.Implikasi dari pemilahan seperti ini adalah kalangan birokrat seringkali menampakan diri dengan self image atau citra diri yang bersifat benevolent,yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat.Akan tetapi sebaliknya penguasa memiliki persepsi merendahkan rakyat.Ada implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kebijaksanaan publik.Kebijaksanaan publikmerupakan domain atau kompetensi sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta atau ibukota provinsi.Yang membentuk semua agenda publik juga memformulasikan kebijaksanaan public adalah kalangan pemerintah,baru kemudian disesuaikan dan disahkan oleh DPR.Rakyat mengalami alienasi,bahkan tersisihkan dari proses politik.Akan tetapi ketika kebijaksanaan public itu sampai pada implementasi kebijakan,rakyat diwajibkan untuk ikut terlibat didalamnya.Sementara itu kita semua mengetahui bahwa kebijaksanaan tersebut membebani rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa yang mampu memperoleh akses terhadap kalangan penguasa.
2.Kecenderungan Patronage
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patrionage,baik dikalangan penguasa maupun masyarakat,yang didasarkan patrionage.Pola hubungan dalam konteks ini bersifat individual yaitu si Patron dan Client terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukar sumber daya yang dimiliki masing-masing pihak.Si Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan sedangkan Client memiliki sumber daya berupa tenaga,dukungan dan loyalitas.Yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa yang paling banyak menikmayi hasil adalah patron.Sebab dialah yang memilik sumber daya yang lebih besar dan lebih kuat ketimbang client.Dalam hubungan seperti ini ada juga yang disebut dengan orang ketiga yang disebut brooker atau middleman.
Kecenderungan patronage ini dapat ditemukan secara meluas,baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat.Presiden bisa menjadi patron bagi beberapa orang menteri.Dalam masa pemerintahan orde baru,kita mengenal pola hubungan clientilistic seperti ini.Dikalangan partai politik juga ditemukan gejala yang sama.Seorang yang menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Golongan Karya,dapat menjadi patron bagi sejumlah politisi,kemudian menjadi pengurus Golkar,dan akhirnya menjadi anggota DPRD Tingkat I.Demikian juga antara penguasa dan masyarakat pengusaha.Kalangan pengusaha,terutama mereka yang non pribumi,tahu betul bagaimana meladeni kalangan pejabat pemerintah.Gejala pola hubungan seperti ini bukan merupakan sesuatu yang baru di Indonesia,karena hal itu sebenarnya sudah dikembangkan sejak zaman colonial.Munculnya sejumlah keluarga priyayi dari kalangan Kraton Yogyakarta,sejumlah bupati dari Rembang dan Madiun,merupakan hasil dari pola clientilistic tersebut.
Dari gambaran diatas sbenarnya kita dapat mengamati bahwa perilaku kalangan birokrat pada masa sekarang ini merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka pada masa colonial.
3.Kecenderungan Neo-Patrimonialistik
Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam perpolitikan Indonesia adalah sebuah kecenderungan akan munculnya budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistk.Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik,karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik,seperti birokrasi.Tetapi juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik.
Dalam negara yang patrimonialistik.penyelenggaraan pemerintahan dan kekuatan militer berada dibawah control langsung pimpinan negara,yang mempersepsikan segala sesuatunya mempribadi.Dinyatakan pula oleh Weber bahwa negara patrimonialistik juga memiliki sejumlah karakteristik yang menyolok,misalnya :
1. Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang pengusaha kepada teman-temannya
2. Kebijaksanaan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat universalistic.
3. Rule of the law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang pengusaha(rule of man)
4. Kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang menyangkut kepentingan umum dan mana yang menyangkut kepentingan public
Karakteristik negara patrimonialistik yang digambarkan Max Weber diatas dapat kita temukan dalam rezim orde baru.Contohnya Gubernur Jawa Tengah Soewardi yang membangun rumah dinas yang sangat besar dan mewah dengan biaya sekitar Rp,7,5 milyar.Sekalipun mendapat kritik dan tantangan dari lapisan masyarakat Soewardi sama sekali tidak peduli.Selain itu banyak anak-anak pejabat menjadi pengusaha besar karena memanfaatkan jabatan orang tua mereka.Gejala terakir yang menarik un tuk dicatat dalam rangka neo-patrimonialisme ini adalah munculnya anak-anak pejabat dalam politik.Implikasi dari semua karakteristik budaya politik seperti yang digambarkan diatas adalah kekuasaan menjadi tidak terkontrol.
D.Sosialisasi Politik :Tidak Memunculkan Civil Society
Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat yang dilakukan oleh berbagai macam agent mulai dari keluarga sampai kejenjang yang lebih tinggi lagi.Tetapi proses sosialisasi atau pendidikan politik di Indinesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan civil society.Ada dua alasan utama mengapa pendidikan politik di Indonesia tidak memberi peluang cukup untuk memunculkan civil society :
1. Dalam masyarakat kita anak-anak ntidak dididik untuk menjadi insan yang mandiri.Anak-anak bahkan mengalami aliensasi dalam politik keluarga.Sejumlah keputusan banyak yang tidak melibatkan mereka
2. Tingkat politisasi sebagian besar masyarakat kita sangat rendah.Kalangan keluarga miskin tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi karena mereka lebih terpaku pada kehidupan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politikOleh karena itu wacana tentang kebijaksanaan pemerintah menyangkut masalah-masalah penting bagi masyarakat menjadi tidak penting bagi mereka
3. Setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak negara,termasuk dalam hal pendidikan politik.
BAB IV
POLITIK INDONESIA 1990-AN:
REJUVENASI ALIRAN?
A.Agama harus dilhat dari dua dimensi,yaitu :
1. Agama sebagai sebuah keyakinan yang dianut oleh sekelompok orang,baik secara individual maupun kelompok
2.Agama sebagai sebuah fenomena sosial
Lalu,bagaimana dengan Indonesia?Ketika memasuki tahun 199-an,banyak kalangan yang mengkhawatirkan munculnya politik aliran.Mengapa demikian?Jawabannya sederhana saja,bahwa konteks politik tahun 1990-an sama sekali berbeda dengan politik pasca kemerdekaan.Kehadiran islam dan politik Indonesia kontemporer tak ada kaitannya dengan politik aliran,tetapi merupakan konsekuensi dari proses politik Indonesia.
B.POLITIK ALIRAN :PENGALAMAN MASA LAMPAU
Clifford Geerrtz adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah politik aliran.Aliran merupakan sebuah metafora dari kenyataan kehidupan sosial politik di Indonesia,dimana partai politik pada masa pasca kemerdekaan melakukan mobilisasi massa dengan membentuk sejumlah auxiliary organizations dalam rangka memenangkan Pemilu 1955.Dalam kehidupan kepartaian aliran merupakan perwujudan dari pembentukan dukungan melalui mobilisasi massa.
Partai politik memiliki media tersendiri terutama surat kabar dan majalah,dalam rangka ,membentuk opini public guna memperoleh dukungan massa yang sebesar-besarnya dalam menghadapi Pemilu 1955.
Basis pembentukan organisasi sosial dan politik pada masa pasca kemerdekaan adalah orientasi dan perilaku keagamaan.Clifford Geertz dalam penelitiannya di Mojokuto kemudian dikenal dengan model,Santri,Abangan dan Priyayi.Partai-partai politik pada massa kemerdekaan memiliki basis yang dimobilisasi lewat pembentukan organisasi pendukung yang meliputi semua sektor misalnya : Partai Komunis Indonesia dengan Pemuda Rakyat,Gerwani,CGMI,IPPI dll,Partai Nasional Indonesia dengan Pemuda Marhaen,Wanita Marhaen dll,Partai Nahdatul Ulama dengan organisasi Pemuda Anshor dll.
Proses mobilisasi tidak hanya sampai disitu Setiap partai politik memiliki media cetak tersendiri.PKI dengan Harian Rakyat,PNI dengan Suluh Indonesia,NU dengan Duta Masyarakat dll.
Perlu pula ditambahkan bahwa partai politik pada masa pasca kemerdekaan juga mendirikan lembaga pendidikan.Proses pemilahan sosial di Indonesia mengalami konsolidas,karena oemilahan tersebut menjadi meningkat.
Apa implikasinya terhadap perpolitikan di Indonesia?Pemilihan Umum 1955 diikuti oleh hampir empat puluh partai politik dan organisasi peserta pemilihan umum yang setingkat dengan partai politik memperlihatkan dari pemilahan seperti itu.Tidak ada satu partai politik yang memperoleh suara mayoritas.
Implikasi yang lain dari pemilahan sosial seperti yang dikemukakan diatas adalah munculnya konflik.Dan kalau sudah sam[pai seperti itu persoalan yang paling rumit adalah mengelola konflik tersebut.Biasanya penyelenggara negara akan dihadapkan pada pilihan yang sulit yakni pilihan untuk memelihara stabilitas politik.atau melaksanakan demikrasi dengan segala konsekuensinya.Plihan yang ditempuh pada masa kemerdekaan adalah demokrasi.Tetapi menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
C.ORDE BARU:DE-ALIRANISASI DAN IMPLIKASINYA
Format politik orde baru memperlihatkan kenyataan yang sangat menarik,yaitu terjadinya proses de-aliranisasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan ditopang ABRI.Proses de-aliranisasi tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara,misalnya :
1. Dengan melakukan depolitisasi massa secara sistematik.Depolitisasi tersebut dilakukan melalui sejumlah langkah kebijaksanaan misalnya prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri.
2. Dengan melakukan floating mass atau massa mengambang.Artinya individu-individu tidak memiliki ikatan tertentu dengan partai politik,kecuali pada saat Pemilihan Umum.
Kebijaksanaan depolitisasi massa memang diarahkan untuk memotong jalur hubungan antara partai-partai politik khususnya partai politik non pemerintah dengan individu.Dalam politik orde baru kita ketahui bahwa sejak 1968 sampai pertengahan 1980-an,pemerintahan Presiden Soeharto memelihara koalisi yang sangat baik antara kekuatan kalangan abangan,kecuali kalangan Soekarnois,dan kalangan Kristen/Katolik.Sementara itu islam berada dalam posisi pinggiran bahkan menjadi kekuatan diluar sistem.
Pada permulaan orde baru sampai pertengahan 1980-an,wajah islam menjadi babak belur dan digambarkan sebagai Ekstrem Kanan yang selalu siap membentk negara islam dan menggantikan pancasila dengan islam sebagai ideologi atau dasar negara.Untuk melemahkan kekuatan politik islam yang mulai tampak,pemerintah mencari jalan untuk mendiskreditkan islam.Isu Komando Jihad dan segala macam yang bertalian dengan itu dimunculkan.
Sementara itu,sarana umat islam untuk mengartikulasi atau bahkan untuk membela diri,boleh dikatakan sangat terbatas.Tidak ada media massa islam yang representative untuk menyampaikan aspirasi dan ide politik islam.
Kompas merupakan salah satu media yang mampu menjadikan seseorang menjadi orang lewat penokohan yang dilakukan surat kabar.Bagaimana orang islam berartikulasi dalam keadaan dimana partai politik memainkan peranan yang sangat terbatas,media massa sangat lemah dan kebebasan untuk berartikulasi mjuga sangat terbatas?Ada beberapa pilihan untuk dilakukan,yaitu :
1. Melakukan akomodasi dengan sistem kekuasaan yang ada seperti yang banyak dilakaukan oleh kalangan alumni HMI.
2. Memilih tetap bergabung dengan partai yang dianggap mempresentasikan islan,seperti PPP
3. Menjaga jarak sama sekali dengan sistem kekuasaan yang berlaku,bahka dengan mengambil sikap kritis
4. Memilihy sikap konfrontatif dengan pihak kekuasaan,seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok sempalan
Dalam situasi dimana umat islan Indonesia mempersepsikan dirinya sebagai warga mayoritas dalam negaranya tetapi memainkan peranan yang marginal dalam pembentukan kebijaksanaan public,maka tidak jarang kebijaksanaan tersbut dipersepsikan sebagai menyudutkan islam.Tidak heran kemudian jika kita menemukan kenyataan bahwa antara islam dan negara yang cenderung sangat keras,bahwkan antagonistik.
D.REJUVENASI ALIRAN ATAU POLITIK KESEIMBANGAN?
Ketika asas tunggal pancasila merupakan sebuah consensus bersama,sekalipun pada waktu itu menimbulkan kontroversi dengan sebagian kalangan islam.Sejumlah langkah kebijaksanaan pemerintah dipersepsikan sebagai langkah kebijaksanaan yang tidak lagi negative bagi umat islam.Bersamaan dengan itu jargon-jargon yang menyudutkan islam sebagai ekstrem kanan,misalmya sudah mulai berkurang pula agungnya.
Kehadiran ICMI oleh banyak kalangan baik islma maupun non islam dibaca sebagai titik puncak munculnya kembali politik aliran Indonesia.Bahkan hal itu direpersepsikan sebagai usaha untuk mendirikan negara islam.Organisasi semacam itu membawa citra primordialis dan sectarian.
Namun demikian harus diakui bahwa dengan timbulnya oleh hubungan yang saling mengakomodasi itu islma memiliki akses terhadap kekuasaan.Kalangan islam mempunyai peluang untuk menetralisasi sikap-sikap yang tejadi sebelumnya yang cenderung memojokan islam.Islam masih jauh dalam memainkan peranan yang menentukan dalam pembentukan kebijaksanaan public.Mengapa demikian?Alasanya adalah :
1. Presiden Soeharto masih memainkan peranan yang sangat menentukan dalam proses pembentuka kebijak sanaan politik di Indonesia
2. Konteks politik 1990-an berbeda denga konteks politik 1970-an dimana pada saat itu politik yang didominasi oleh pola interaksi kalangan elite,mekanisme politik pun tidak terbuka
Sementara politik tahun 1990-an sudah lebih terbuka dan transparan,sehingga setiap ada kebijaksaan publik yang snsitif akan mendapat reaksi yang sangat tajam dari kalangan publik.
Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan munculnya kembali politik aliran di Indonesia.Apalagi kalau dikaitkan dengan kehadiran ABRI sebagi sebuah kekuatan politik yang menjadi penyeimbang di antara semua kekuatan polirtik di Indonesia.Kedudukan politik ABRI sangatlah strategis,sehingga hampit tidak masuk akal untuk saat ini kalau ada kekuatan politik yang mempunyai aspirasi disintegratife.
Komentar terhadap buku BAB 3
Uraian yang dikemukakan bab 3 memberikan gambaran yang cukup jelas dan pesimistis tentang bagaimana itu budaya politik Indonesia.Dengan budaya politik yang diwarnai dengan pola hubungan yang sangat hierarkis,kecenderungan patronage politik yang kuat,serta gejala non-patrimonalisme ,Pada bab ini dijelaskan bagaimana munculnya proses demokratisasi yang sulit untuk meluas.
Bab ini menggambarkan bagaimana proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga begitu penting namun pada kenyataan nya peranan keluarga dalam proses sosialisasi politik belum memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan sebuah civil society.
Komentar terhadap buku BAB 4
Dalam bab ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana kekhawatiran dan rejuvensinya politik aliran sama sekali tidak beralasan.Kehadiran politik islam merupakan konsekuensi dari perubahan konfigurasi politik nasional dimana pemerintah khususnya presiden soeharto menganggap perlunya akomodasi islam.
Dalam bab ini pula digambarkan bagaimana perjalanan atau sejarah politik Indonesia pada tahun 1990 han.untuk itu kita diberikan pemahaman terlebih dahulu bagaimana aliran aliran politik pada masa lampau tersebut sebelum kita menginjak bagaimana politik aliran pada masa orde baru.